JAKARTA – Sejarah hari ini, 120 tahun yang lalu, 23 Juni 1902, Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Lawang di Malang resmi dibuka. Pembukaan RSJ Lawang (kini: RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat) jadi bukti Belanda mulai peduli masalah penyakit jiwa. Pun RSJ Lawang adalah pusat pengendalian penyakit jiwa kedua di Nusantara setelah RSJ Bogor.
Kehadiran RSJ itu menjawab masalah orang dalam gangguan jiwa (ODGJ) yang meningkat tiap tahun. Sebelum kehadiran RSJ, ODGJ diperlakukan sangat tidak manusiawi. ODGJ dianggap kerasukan roh jahat atau diguna-guna.
Penanganan ODGJ di Nusantara acap kali sembarangan. Masyarakat awam cenderung memperlakukan ODGJ seakaan-akan mereka terpengaruh oleh roh jahat atau diguna-guna. Bahkan, ODGJ kerap percaya sebagai medium atau perantara antara manusia dan dunia roh. Anggapan itu buat penanganan ODGJ menggunakan jasa paranormal (dukun).
Ritual-ritual pembebasan pun dilakukan. Siksaan fisik --dipukul dan ditendang--- dengan dalil kekuatan roh terlalu kuat dilanggengkan. Alih-alih sembuh, ODGJ justru berada dalam cedera yang serius.Namun, jika ODGJ mulai dianggap berbahaya, maka mereka akan segera dipasung.
Pada masa penjajahan Belanda kondisi tak banyak berubah. Tapi, Belanda terus berupaya. Mereka tak tinggal diam. Beberapa rumah sakit yang didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Rumah sakit diminta membuat ruangan khusus untuk pasien penyakit jiwa.
Nyatanya upaya itu tak cukup. Belanda lalu merujuk pasien ke rumah sakit milik militer. Perlakuan rumah sakit itu tak jauh beda dari dukun-dukun. Penanganan ODGJ terbilang keras. Karenanya, rumah sakit militer zaman itu tak ubahnya mirip penjara bagi ODGJ.
“Kemudian dibuka pula rumah-rumah sakit di Banten dan di Semarang; bahkan pada tahun 1800-an, sebuah rumah sakit jiwa dibuka di Jakarta. Di sini kelihatan bahwa semua itu lebih bersifat “pengurungan” daripada perawatan. Kalaupun hal itu memang merupakan sesuatu yang baru dipandang dari sudut mentalitas (gagasan memisahkan penderita dari masyakaratnya tidak dapat begitu saja diterima di Jawa, bahkan hingga saat ini).”
“Dapat dibayangkan bahwa dampaknya benar-benar teraupetik hampir nihil. Mungkin satu-satunya yang termasuk positif adalah pencarian air mineral di pegunungan vulkanis di sekitar ibu kota (sumber air panas di Cipanas mulai dimanfaatkan sejak tahun 1745) yang merupakan perintis perkembangan tempat-tempat peristirahatan di pegunungan dan Spa abad ke-19,” ungkap Sejarawan Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan (1996).
Pemerintah kolonial tak lantas menyerah. Mereka tetap melakukan perbaikan penanganan ODGJ. Ide-ide membangun RSJ pun muncul. Belanda ingin memusatkan pengobatan penyakit jiwa pada satu tempat.
Ide itu disambut dengan antusias. Apalagi, banyak di antara rakyat Hindia-Belanda yang menjadi ODGJ karena wabah dan perang. Akhirnya, RSJ pertama yang terletak di Bogor dibangun pada 1882. Kehadiran yang dikenal sebagai Krankzinningengesticht te Buitenzorg banyak membantu.
Keberhasilan itu buat Belanda memutuskan untuk membangun RSJ yang kedua di Nusantara. RSJ Lawang namanya. RSJ yang berada di Malang itu resmi beroperasi pada 23 Juni 1902. Setelahnya, RSJ Lawang banyak membantu Belanda melawan penyakit mental.
“Tahun 1800 pasien jiwa sudah dikumpulkan di bangsal-bangsal dan perawatannya bersifat penjagaan. RSJ didirikan pertama kali tahun 1875 di Cilandak Bogor dengan kapasitas 400 orang. RSJ kedua di Lawang tahun 1894 (diresmikan tahun 1902) dengan kapasitas 3300 pasien.RSJ ketiga, RSJ Prof. Dr. Soeroyo di Magelang tahun 1923 dengan 1400 pasien,” tutup Sri Wahyuni dalam buku Keperawatan Jiwa (2022).
Peresmian RSJ Lawang pada 23 Juni 1902 menjadi catatatan sejarah hari ini di Nusantara.