Bagikan:

JAKARTA - Saint Joan of Arc alias Jeanne d'Arc mendadak jadi sosok penting kala Prancis berusaha merebut kembali bekas wilayah kekuasaan yang sempat dikuasai Inggris dan Burgundi pada masa perang Seratus Tahun. Jeanne d'Arc yang mengaku dapat wangsit dari Bunda Maria berhasil membangkitkan semangat pasukan Charles VII yang mulai redup.

Kisah itu dikutip dari kolom sejarawan, Ong Hok Ham berjudul Wangsit dalam majalah Tempo tahun 2002 silam. “Ia (Jeanne d'Arc) dianggap mendapat petunjuk Tuhan atau Bunda Maria untuk menuntun Raja Prancis Charles VII yang sudah terdesak oleh musuhnya, Raja Inggris, yang menuntut mahkota Prancis, ke Kota Reims, tempat Charles, berdasarkan tradisi, dinobatkan sebagai raja,” tertulis.

Kiranya, inilah kasus positif wangsit di negeri barat. Tapi, kasus Jean d'Arc termasuk dalam lingkup minoritas. Sebab, dalam lingkup mayoritas, hal yang sama dapat berakhir ambyar. Contoh, wangsit yang sempat lebih banyak menimbulkan malapetaka, salah satunya terjadi pada raja Prancis Charles X yang bersama perdana menterinya bermaksud melenyapkan demokrasi dari Revolusi Prancis.

Sayangnya, mereka yang memiliki keinginan mengembalikan tatanan politik seperti masa sebelumnya, yaitu raja mendapatkan wewenang dari Tuhan. “Dalam menjalankan politiknya, raja dan perdana menterinya, Prince de Polignac, katanya, dituntun oleh Bunda Maria, Ibu dari Nabi Isa yang suci,” kata Ong.

Lukisan Jeanne d'Arc oleh Jules Bastian-Lepage (Commons Wikimedia)

Sehingga mereka membubarkan parlemen dan menyelenggarakan parlemen baru dan melakukan pemilihan umum dengan aturan hak suara guna membentuk parlemen hanya dimiliki oleh kaum hartawan atau bangsawan, yang mendukung, sampai-sampai menutup Koran-koran yang kontra dengan kebijakan tersebut.

Hasilnya, seperti yang sudah banyak ditebak, keinginan melenyapkan demokrasi malah berujung pemberontakan rakyat Paris pada Juli 1830. Permbrontakan tersebut juga berhasil menggulingkan Raja Charles X empunya usul, yang kemudian melarikan diri ke Inggris.

Meski telah selesai, fenomena percaya hal bersifat gaib atau mistik, termasuk apa yang biasa disebut wangsit sudah menjadi hal yang mendarah daging bagi masyarakat Indonesia. Bahkan, perihal ini kiranya selalu berulang sekalipun dengan beragam pola.

Uniknya, mayoritas masyarakat masih banyak yang percaya perkara itu. Namun, kalau diulas secara sejarah, maka tak hanya di Indonesia saja percaya takhayul, gaib atau wangsit menyeruak. Di luar negeri pun sama halnya.

Takhayul di Indonesia

Hal yang paling populer di Indonesia perkara wangsit salah satunya terdapat pada perkara dongeng terkait harta karun dari kerajaan zaman dahulu. Kiranya, banyak orang memercayai kalau ada harta dari raja yang terpendam hingga kini.

Padahal, secara skeptis hal itu jelas tak mungkin. Ong Hok Ham sampai-sampai mengungkap rasa tak percayanya akan hal itu. Ia berucap “dari dulu sampai sekarang, sistem perpajakan tak pernah sempurna. Kerajaan Mataram, yang telah berdiri 100 tahun, pada 1678 tercatat terpaksa meninggalkan harta karunnya yang hanya 2,5 juta ringgit," tertulis.

"Kerjaan Mataram juga tak pernah dapat melunasi hutang kepada Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan, karena itu, merupakan Negara Asia pertama yang dihadapkan pada beban utang luar negeri VOC yang besar,” tambahnya.

Karenanya, Mataram tak mungkin meninggalkan harta karun. Apalagi sampai digadang-gadang bisa melunasi utang Negara. Terlebih lagi, daerah Jawa sama sekali tak pernah terkenal dan dikenal sebagai daerah yang memiliki tambang mas maupun intan.

Sebuah kritik

Kritikan tentang kebanyakan masyarakat Indonesia masih memercayai hal-hal berbau takhayul juga pernah dilontarkan oleh Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaan yang diadakan di Taman Ismail Marzuki pada 6 April 1977. Oleh pendiri kantor berita Antara tersebut, sifat orang Indonesia dikelompokkkan dalam menjadi empat sifat utama.

Pertama, hipokritis dan munafik. Kedua, enggan bertanggung jawab. Ketiga, jiwa feodal. dan keempat, percaya takhayul. Dalam sifat percaya takhayul orang Indonesia digambarkan “dulu, dan sekarang juga masih ada yang demikian (percaya takhayul)," tertulis.

"Manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua,” tambah Mochtar Lubis.

Ia juga menambahkan, orang Indonesia orang sering kali menghitung hari baik dan hari buruk, bulan baik dan bulan buruk. Tak hanya itu, Mochtar pun mengungkap “Keris juga banyak yang keramat, dimandikan, dilangir, dibakar menyan, dibikinkan bajunya dari sutra atau beludru.”

Ilustrasi dukun (Commons Wikimedia)

Bagi Mochtar, percaya takhayul tentu sudah mendarah daging bagi masyarakat Indonesia. Meski zaman telah berubah, presiden silih berganti, negara semakin modern, niscaya kepercayaan masyarakat sudah tentu takhayul atau wangsit seharusnya menurun.

Namun, pada realitanya tak begitu. Kepercayaan terhadap itu terus menerus diperbaharui sesuai zaman dan seringkali membuat bangsa ini tak jalan kemana-mana. Namun, tak semuanya perihal percaya takhayul buruk.

Dikutip dari Zeffri Hendrik dalam bukunya yang berjudul Jakarta Punya Cara, ia berucap takhyul pun memiliki tujuan yang baik. “Salah satu fungsi takhayul itu adalah untuk membenarkan suatu sistem sosial. Misalnya di Masyarakat Betawi yang memahami kenyataan hidup sehari-hari sebagai suatu keteraturan yang sudah tersusun dan diupayakan agar terus teratur.”

Selebihnya, Zeffri menganggap tradisi itu tak lain bertujuan sebagai pengendali sekaligus alat melegitimasi. “Tujuan dari tradisi yang dibakukan itu adalah untuk menjaga dan mengusahakan kelangsungan keteraturan yang ada (kosmis order) dan yang sudah disepakati atau diakui bersama (sosial order),” tutupnya.

Entah karena wangsit ini atau efek psikologis dari karisma pemimpin perempuan tersebut yang bagai sosok gembala muda namun berani berperang. Atas dasar itu, semangat tentara Prancis yang semula anjlok kemudian bangkit kembali.