Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 79 tahun yang lalu, 7 September 1944, penjajah Jepang lewat Perdana Menteri, Kuniaki Koiso menjanjikan kemerdekaan kepada Hindia Timur (kini: Indonesia). Janji itu diucap karena kekuatan Jepang meredup di Perang Pasifik dan ingin seisi Nusantara mendukungnya.

Sebelumnya, kehadiran Jepang sempat disambut dengan gegap gempita oleh segenap kaum bumiputra. Keberanian Jepang mengusir penjajah Belanda jadi musababnya. Semenjak itu tabiat Jepang keluar. Penjajah tetaplah penjajah.

Keinginan Jepang menguasai Asia kian memuncak. Empunya kuasa ingin jadi pembebas setiap bangsa Asia yang dijajah bangsa Eropa. Jepang ingin menaikkan derajat orang Asia, sekaligus menyusupkan keinginan bangsa Asia mendukung mereka dalam Perang Pasifik.

Keinginan itu sempat dibaca pemerintah kolonial Hindia Belanda (kini: Indonesia). Namun, mereka mengabaikannya. Jepang dianggapnya bukan ancaman. Nyatanya anggapan itu salah. Jepang dengan armada perang yang unggul mampu mengobrak-abrik pasukan Belanda dengan mudah di Nusantara.

Jepang pun menguasai satu demi satu wilayah Hindia Belanda. Jepang mencoba menunjukkan siapa penguasa sebenarnya di Nusantara. Alhasil, Belanda mengangkat bendera putih, tanda menyerah. Kaum bumiputra pun justru senang bukan main dengan kehadiran Jepang.

Narasi Jepang sebagai pembebas yang mengusir Belanda dipuja-puji. Semuanya karena kaum bumiputra telah gerah diperas bak sapi perah oleh Belanda. Kedatangan Jepang pun disambut dengan gegap gempita.

Foto Soekarno memimpin pawai untuk menyambut deklarasi PM Kuniako Koisi menjadi sampul Majalah Djawa Baroe. (Indonesia Zaman Doeloe)

Sekalipun akhirnya Jepang menunjukkan taring sesungguhnya. Penjajah Jepang justru tiada beda dengan Belanda. Penjajah tetaplah penjajah. Kehidupan kaum bumiputra makin nelangsa. Kaum bumiputra bak dimanfaatkan Jepang hanya untuk mendukung mereka dalam Perang Pasifik.

“Walaupun penjajah menghadapi kemusnahan dan kematiannya, tetapi sampai saat gawat sekalipun, penjajah seperti Belanda tidak rela memberikan kekuatan pada bangsa Indonesia. Baik politik, maupun fisik. Karena kebencian pada penjajah ini, tidaklah heran jika Belanda sirna dari Indonesia diiringi oleh sumpah rakyat - yang ditindasnya berabad-abad.”

“Sebaliknya, rakyat yang belum mengenal bagaimana sifat bangsa Jepang yang datang ‘memerdekakan’ Indonesia, karena sesama bangsa Asia, gembira ria menyambut bangsa ini ketika mereka masuk ke Jakarta dan lain-lain daerah tanah air kita,” ujar B.M. Diah dalam buku Catatan B.M. Diah (2018).

Mulanya kuasa Jepang dalam Perang Pasifik sempat menakutkan banyak pihak. Namun, Dewi Fortuna tak selamanya berada di pihak Jepang. Nyali empunya kuasa kian meredup pada 1944. Jepang pun paham benar hal itu. Mereka pun meminta wilayah jajahannya untuk terus loyal membantu Jepang.

Sebagai bentuk balas budi, Jepang kemudian menawarkan janji kemerdekaan kepada kaum bumiputra pada 7 September 1944. Janji itu diungkap langsung Perdana Menteri Kuniaki Koiso dalam sidang parlemen istimewa di Jepang. Sekalipun janji itu tak pernah diwujudkan. Sebab, pejuang kemerdekaan memilih untuk memerdekakan Indonesia secara mandiri.

“Pada 7 September 1944, dalam sidang parlemen istimewa Perdana Menteri Kuniaki Koiso mengumumkan bahwa Kekaisaran Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Hindia Timur, To Indo no jori dokuriku (Hindia Timur sanggup merdeka sekarang), sebagaimana juga dijanjikan kepada Burma dan Filipina.”

“Mendapat kabar seperti ini, konon Bung Karno menangis saking gembiranya bersama-sama kawan Jepang. dalam koran Djawa Baroe, ditampilkan foto Soekarno yang memimpin pawai massa untuk menyambut deklarasi Koiso tersebut. apalagi kemudian pemerintah militer Jepang di Jawa mengizinkan kembali pengibaran bendera Merah Putih di kantor-kantor Jawa Hokokai (Gerakan Kebangkitan Jawa),” terang Osa Kurniawan Ilham dalam buku Pejambon 1945: Konsensus Agung Para Peletak Fondasi Bangsa (2020).