Bagikan:

JAKARTA - Sejarah hari ini, 78 tahun yang lalu, 5 September 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan bahwa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa (D.I) bagian dari Republik Indonesia.

Penyataan itu diungkapnya dalam sebuah amanat tertulis. Sebelumnya, pria yang bernama asli Gusti Raden Mas Dorodjatun dikenal tumbuh dan berkembang di luar tembok Keraton Yogyakarta. Narasi itu membuat Dorodjaton peka terhadap nasib rakyat. Ia pun pro terhadap perjuangan melawan penjajah.

Dorodjatun tak banyak merasakan nikmatnya tinggal di Keraton Yogyakarta. Ayahnya, Sultan Hamengkubowo VIII lebih memilih Dorodjatun ditempa di luar keraton. Sultan Yogyakarta itu tak ingin anaknya tumbuh manja.

Keinginannya adalah Dorodjatun dapat terdidik mengikuti kemajuan zaman. Semenjak itu Dorodjatun berkali-kali dititipkan kepada orang Eropa – indekos di berbagai wilayah Nusantara. Segala macam fasilitas ala anak Raja Jawa ditiadakan.

Hasilnya gemilang. Dorodjatun tumbuh sebagai anak yang disiplin, sederhana, dan demokratis. Pun kenyataan itu membuatnya lebih peka terhadap nasib kaum bumiputra. Ia melihat bagaimana bangsanya diperas bak sapi perah. Ia pun memiliki harapan untuk melihat kaum bumiputra merdeka.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX saat dinobatkan sebagai raja di Bangsal Sitihinggil, Keraton Yogyakarta pada 8 Mei 1940, didampingi Gubernur Lucien Adam, pejabat Pemerintahan Hindia Belanda di Yogyakarta. (Nationaal Museum van Wereldculturen/Wikipedia) 

Ia pun memilih untuk melanjutkan studinya ke Negeri Belanda. Kepekaannya justru semakin terbuka di negeri orang. Ia banyak berjumpa dengan mahasiswa asal Nusantara yang memiliki cita-cita sama. Bekal itu kemudian dijadikannya pedoman kala menggantikan ayahnya sebagai penguasa Yogyakarta yang baru pada 1940.

Ia jadi raja dengan gelar Sultan Hamengkubuwono IX. Kepemimpinannya berjalan demokratis. Narasi itu dibuktikannya ketika eksistensi penjajah Belanda berganti Jepang. Ia tak mau rakyatnya jadi Romusha (pekerja paksa). Ia pun mengakalinya dengan beragam cara. Pun ia pasang badan untuk itu. Sebab, ia yakin bahwa kuasa Jepang takkan bertahan lama.

“la juga sengaja memalsu angka statistik dalam laporannya kepada Jepang, hingga terkesan bahwa daerah kekuasaannya sempit dan minus. Tapi, dengan demikian, ia bahkan berhasil mendapat dana untuk membangun saluran air, antara lain dari Kali Progo ke daerah kering di Sleman. Cukup banyak tenaga pemuda dan petani yang dikerahkan untuk pembangunan ini bendungan dan irigasi itu.”

“Siasat itu berhasil hingga Sri Sultan punya alasan menolak instruksi Jepang merekrut para pemuda menjadi romusha untuk kerja paksa di Burma. Ia yakin bahwa pendudukan Jepang hanya seumur jagung alias tiga setengah tahun ,alias sebentar sebagaimana konon ramalan Joyoboyo, Sri Sultan menganggap proklamasi kemerdekaan sebagai saat yang kutunggu-tunggu,” tulis Budiman S. Hartoyo dan kawan-kawan dalam laporannya di Majalah Tempo berjudul Lebih Besar dari Takhtanya (1988).

Ia mendukung penuh segenap tokoh bangsa memerdekakan bangsa Indonesia. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, ia mengucapkan selamat. Pun kemudian ia menyebut Yogyakarta siap berada menjadi bagian dari Indonesia.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX seusai pelantikan sebagai Wakil Presiden RI 1973-1978 mendampingi Presiden Soeharto di Gedung DPR RI, 24 Maret 1973. (IPPHOS)

Sebagai bukti keseriusan, Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan sebuah amanat penting pada 5 September 1945. Ia menyatakan bahwa Yogyakarta adalah bagian dari Indonesia. Pernyataan itu diungkapnya supaya segenap rakyat Yogyakarta mengakui Indonesia sebagai negaranya.

“Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat Kerajaan adalah Daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Bahwa Kami sebagai kepala daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat.”

“Dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya Kami pegang seluruhnya. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan Kami bertanggung jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia,” pekik Sultan Hamengkubuwono IX dalam amanatnya sebagaimana dikutip Mohamad Roem dan kawan-kawan dalam buku Takhta untuk Rakyat (2013).