JAKARTA – Sejarah hari ini, 78 tahun yang lalu, 21 September 1945, rakyat Yogyakarta menurunkan bendera Jepang, Hinomaru dari Tjokan Kantai (kini: Gedung Agung). Mereka kemudian menggantinya dengan bendera Merah Putih.
Sebelumnya, seisi Yogyakarta mendukung penuh keseriusan Sultan Hamengkubuwono IX gabung dengan Indonesia. Amanat itu dikumandangkan olehnya. Alhasil, Yogyakarta mengakui Indonesia sebagai negaranya. Kondisi itu membuat sisa-sisa kekuasaan Jepang di Yogyakarta dimusnahkan.
Kehidupan mengajarkan Gusti Raden Mas Dorodjatun peka terhadap penderitaan rakyat. Kepekaan itu didapatnya karena laku hidup jauh dari lingkup keraton sedari kecil. Bahkan, ia sampai indekos di rumah orang Eropa.
Bekal pembelajaran itu membuat Dorodjatun jadi demokratis dan berani. Apalagi, kala Ia dinobatkan menggantikan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono VIII sebagai penguasa Yogyakarta. Dorodjatun pun berhak menyandang gelar Sultan Hamengkubowo IX pada 1940.
Kepemimpinannya berjalan demokratis. Ia tahu bagaimana penjajahan menyengsarakan rakyatnya. Pun ia tak ingin hal itu terjadi kepada seisi Yogyakarta. Pada masa penjajahan Jepang, misalnya. Rakyat Yogyakarta pernah diminta membantu Jepang jadi Romusha (pekerja paksa).
Hamengkubowo IX pun pasang badan. Ia melanggengkan segala cara supaya rakyatnya tak diangkut Jepang sebagai pekerja paksa. Ajiannya yang fenomenal lainnya adalah kala Indonesia merdeka. Ia menjadi sosok yang mendukung penuh Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Ia mengucapkan selamat atas keberanian pejuang kemerdekaan. Setelahnya, ia mengeluarkan sebuah amanat penting pada 5 September 1945. Ia menyatakan dengan tegas bahwa Yogyakarta adalah bagian dari Indonesia. Pernyataan itu diungkapnya supaya segenap rakyat Yogyakarta mengakui Indonesia sebagai negaranya.
“Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat Kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia. Bahwa kami sebagai kepala daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat.”
“Dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggung jawab atas negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia,” ujar Sultan Hamengkubuwono IX dalam amanatnya sebagaimana dikutip Mohamad Roem dan kawan-kawan dalam buku Takhta untuk Rakyat (2013).
Keputusan Hamengkubuwono IX disambut dengan gegap gempita. Seisi Yogyakarta mendukung penuh langkah bergabung dengan Indonesia. Semangat menggebu-gebu itu berlangsung berhari-hari. Mereka semakin membenci penjajah.
BACA JUGA:
Alhasil, apa saja yang berbau penjajah akan dimusnahkan dari Yogyakarta. Warga Yogyakarta kemudian beramai-ramai mendatangi Tjokan Kantai untuk menurunkan bendera Jepang, Hinomaru dan menggantikan dengan bendera Indonesia pada 21 September 1945. Ajian itu dianggap simbol Indonesia telah merdeka dari penjajah.
“Pernyataan tersebut memiliki kemampuan mengobarkan semangat rakyat untuk memobilisir masa demi terwujudnya revolusi Indonesia. Pernyataan raja yang sangat berpengaruh besar bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya menjadikan masyarakat menurut pada apa yang dikatakan raja, dan semakin membenci penjajahan.”
“Pada tanggal 21 September 1945 suasana kota Yogyakata diliputi oleh semangat melawan Jepang Rakyat dengan persenjataan seadanya menurunkan bendera Hinomaru di Gedung-gedung pemerintah militer Jepang dan diganti dengan Sang Saka Merah Putih. Pada pukul 13.00 WIB rakyat beramai- ramai mengibarkan Sang Merah Putih rakyat memasuki Tjokan Kantai (Gedung Agung) dengan tujuan menurunkan bendera Hinomaru dan mengibarkan Sang Saka Merah Putih,” terang Rinafika Dianasari dalam buku RRI Yogyakarta: Masa Pendudukan Belanda Hingga Masa Revolusi (2021).