Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 26 tahun yang lalu, 18 September 1997, Surjadi Soedirdja terima anugerah Pena Mas dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Penganugerahan itu diberikan karena Surjadi dianggap tokoh yang berperan penting bagi perkembangan pers Indonesia.

Sebelumnya, bukan rahasia umum jika pemimpin Jakarta kerap jadi media darling (Kesayangan media). Isu-isu di Ibu Kota kerap menjelma bak bahan bakar pers dalam mewartakan berita nasional. Karenanya, hampir tiap Gubernur DKI Jakarta dikenal sebagai news maker (objek berita).

Imej Jakarta sebagai mercusuar peradaban bangsa kerap jadi sorotan. Banyak peristiwa bersejarah terjadi di Jakarta. Dari Sumpah Pemuda hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Narasi itu dikuatkan dengan langgengnya Jakarta sebagai Ibu Kota Negara.

Imbasnya ke mana-mana. Segala macam hal yang terjadi di Jakarta kerap jadi buruan media massa. Televisi, radio, koran, hingga majalah tak henti-hentinya mengupas permasalahan hajat hidup orang Jakarta.

Permasalahan itu membuat banyak Gubernur DKI Jakarta jadi sorotan media massa. Kebijakannya diulas. Bahkan, dikritik. Kalau kebijakan itu dijalankan dengan baik, maka pujian akan berdatangan satu demi satu.

Surjadi Soedirja adalah Gubernur DKI Jakarta 1992-1997 yang kemudian menjadi Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (1999-2001) dan Menkopolkam (2000) . (Antara)

Kali pertama Jakarta mulai mendapatkan banyak sorotan adalah pada masa kuasa Ali Sadikin. Gubernur DKI Jakarta yang menjabat 1996-1977 kerap jadi media darling. Semuanya karena Ali kerap bersifat sportif dengan media massa yang ada.

Ia tak mempermasalahkan pemerintahannya di banjiri kritik. Makin banyak kritik, maka semakin baik kehidupan berbangsa dan bernegara, katanya. Pemerintah DKI Jakarta jadi tahu kekurangan. Begitu pula media massa jadi banyak mendapatkan berita.

Ali pun dielu-elukan sebagai pendekar kebebasan pers. Ia tak marah ketika dirinya dihujani kritik seputar kebijakannya melegalkan perjudian dan prostitusi. Kondisi itu membuatnya justru mencapai puncak ‘pertemanan’ dengan banyak wartawan nasional.

“Di hadapan media, ia menilai pers di Jakarta lebih baik ketimbang di daerah dalam hal kebebasan. Ali berucap: Pers di Jakarta berani mengkritik saya. Kejujuran mengkritik pemerintah itu bagus. Dengan sikap seperti itu, banyak wartawan yang dekat dengan Ali. Mochtar Lubis, wartawan Indonesia Raya yang galak terhadap pejabat korup, memuji Ali dengan menulis, Ali bakal dipuja oleh rakyat karena sosoknya yang ganteng serta senang bekerja. Pun demikian dengan Rosihan Anwar.”

“Menurut Sastrawan Goenawan Mohamad, Rosihan adalah jurnalis yang mempopulerkan panggilan Bang Ali dalam tulisan-tulisannya di majalah Pedoman. Setelah tak menjabat gubernur pada 1977, Ali tetap berhubungan baik dengan wartawan. Para jurnalis tetap mewawancarainya setelah dia pensiun, dari soal Petisi 50 sampai kisruh di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dua organisasi politik dan hukum yang ia dirikan,” terang Erwan Hermawan dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Pendekar Kebebasan Pers (2022).

Jenderal (Purn) Surjadi Soedirja (paling kanan) bersama Jenderal (Purn) Wiranto, Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Jenderal (Purn) Pramono Edi Wibowo, dan Kasad Jendral TNI Budiman dalam sebuah forum purnawirawan TNI AD di Mabesad Jakarta pada 20 Februari 2014. (Antara/Fanny Octavianus)

Kepopuleran Gubernur DKI Jakarta sebagai media darling terus berlanjut sekalipun masa jabatan Ali telah berakhir. Penerusnya kemudian turut meneruskan tongkat estafet sebagai news maker. Pemerintah DKI Jakarta lihai menjadikan pers bak seorang sahabat.

Pada masa pemerintahan Surjadi Soedirdja, misalnya. Kepemimpinan Surjadi membidani Jakarta dianggap memiliki peran penting dalam tumbuh kembang pers Indonesia. Ia senantiasa dekat dengan pers. Pun bersedia dikritik.

Sebagai bentuk penghargaan, PWI memberinya anugerah Pena Mas di Balai Kota Jakarta pada 18 September 1997. Pria yang akrab disapa Pak Sur dianggap sebagai tokoh penting yang memengaruhi perkembangan pers. Pun ia mendukung pers supaya terus maju. Pun anugerah Pena Mas sendiri adalah penghargaan yang lazim diberikan PWI kepada sosok yang membawa kemajuan dapat hal kebebasan pers.

“Dalam hal ini maka pers dapat membantu memberikan gambaran tentang latar belakang suatu kebijakan yang ditempuh dan tujuan pelaksanaan suatu program pembangunan, yakni semata-mata demi kemaslahatan seluruh warga Jakarta. Dengan demikian di tengah warga Jakarta akan tumbuh kepercayaan dan keyakinan tentang manfaat program pembangunan yang dilaksanakan.”

“Demikian pula Pemerintah DKI Jakarta harus mampu menangkap nuansa pemberitaan pers Ibu Kota yang juga merupakan aspirasi warga Jakarta, serta mengakomodasikannya dalam kebijakan dan program yang ditempuh. Selain itu Pemerintah DKI Jakarta perlu menempatkan diri sebagai fasilisator bagi pers Ibu Kota, baik sebagai sumber berita maupun mitra yang mampu memberikan dukungannya bagi kemajuan dan perkembangan pers di Ibu Kota,” pidato Surjadi kala menerima Anugerah Pena Mas sebagaimana dikutip buku Kiat-Kiat Membangun Kota Jakarta 1992-1997 (1997).

Surjadi Soedirja lahir di Jakarta saat bernama Batavia pada masa Hindia Belanda, 11 Oktober 1938. Dia meninggal dunia di Jakarta pada 3 Agustus 2021.