JAKARTA – Memori hari ini, 29 tahun yang lalu, 16 September 1994, Tunjangan Hari Raya (THR) akhirnya resmi menjadi hak semua pekerja. Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun pegawai swasta. Sifatnya pun wajib diberikan oleh pengusaha. Aturan itu keluar atas restu Menteri Tenaga Kerja (Menaker), Abdul Latief.
Sebelumnya, narasi THR sempat hadir di era Orde Lama. Empunya kuasa memberikan THR untuk membantu ekonomi pada persiapan hari raya. Namun, pemberian itu dibatasi kepada mereka yang menjabat sebagai PNS, sedang pekerja swasta –buruh dan lain-lain-- tak jelas.
Hari raya keagamaan kerap dirayakan dengan penuh suka cita. Segenap rakyat Indonesia lintas agama pun menanti hari raya. Dari agama Islam hingga Hindu. Kehadiran unsur perayaan itu membuat perputaran uang yang besar terjadi.
Artinya, orang-orang senantiasa akan keluar dana lebih banyak menjelang hari raya. Fenomena itu dicermati oleh Perdana Menteri Indonesia era Orde Lama, Soekiman Wirjosandjojo. Ia kemudian melanggengkan kebijakan populer untuk memberikan THR kepada abdi negera alias PNS pada 1951.
Saban hari raya, mereka mendapatkan bantuan uang. Bantuan itu dianggap mampu membantu keuangan PNS untuk dapat menyiapkan segala macam kebutuhan hari raya. Dari urusan mudik hingga sembako.
Kebijakan itu nyatanya mendapatkan protes dari kaum buruh. Mereka yang notabene bukan PNS merasa pemerintah tak adil. Empunya kuasa bak ingin PNS saja hidup nyaman. Padahal, seisi indonesia pun merayakan hal yang sama.
Kaum buruh pun menyuarakan supaya pemerintah menuntut perusahaan mengeluarkan THR sebanyak satu bulan gaji kotor. Keinginan itu didengar oleh pemerintah. Namun, yang keluar hanya berbentuk himbauan, bukan perintah.
“Kebijakan Soekiman yang sangat populer, bahkan terus dipertahankan hingga saat ini, walaupun sempat dihentikan sementara di masa Kabinet Wilopo, adalah pemberian Tunjangan Hari Raya (THR). Soekiman memberikan bonus kepada para abdi negara menjelang Idul Fitri.”
“Saat itu jatuh pada awal juli 1951, sebesar Rp125 hingga Rp200 untuk setiap orang. Selain itu, pada masa Soekiman memerintah, para pegawai juga memperoleh tunjangan beras yang cukup untuk satu bulan,” tulis Lukman Hakiem dalam buku Soekiman (2022).
Kondisi itu tak jauh berbeda di awal zaman Orde Baru (Orba). Pemerintah Orba bahkan sempat mengeluarkan aturan yang menerangkan bahwa pengusaha tak wajib membayar THR kepada pegawainya pada 1972.
Ketiadaan THR kepada pekerja swasta dianggap ketidakadilan. Pemerintah Orba dianggap tidak peka. Apalagi, urusan THR masih terus menerus berada dalam tataran kajian oleh Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker). Presiden Soeharto pun berang. Ia tak menghendaki jajarannya terlalu lama mengumumkan perihal THR.
Menaker, Abdul Latief pun dipanggil. Ia meminta kejelasan terkait mandeknya urusan THR. Abdul Latief lalu diminta untuk mengeluarkan Peraturan Menteri dalam tempo singkat. Alhasil, Per 04/Men/1994 lahir.
Peraturan Menteri itu ditandatangani oleh Abdul Latief pada 16 September 1994. Ia menegaskan THR resmi jadi hak semua pekerja, PNS maupun Swasta. Besaran THR didesuaikan dengan dedikasinya. Pun THR hukumnya wajib dikeluarkan oleh pengusaha.
BACA JUGA:
“Bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat pemeluk agama yang setiap tahunnya merayakan, hari raya keagamaan sesuai dengan agamanya masing-masing. Bahwa bagi pekerja untuk merayakan hari tersebut memerlukan biaya tambahan.”
“Bahwa untuk merayakan hari Raya tersebut sudah sewajarnya pengusaha memberikan THR Keagamaan. Bahwa untuk menciptakan ketenangan usaha, meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keseragaman mengenai pemberian THR Keagamaan perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri,” terang Peraturan Menteri tersebut.