Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 35 tahun yang lalu, 20 September 1988, Menteri Penerangan, Harmoko meminta pers nasional untuk melakukan bersih-bersih lingkungan. Kegiatan bersih-bersih yang dimaksud merujuk kepada tak memperkerjakan orang-orang yang berideologi komunis.

Sebelumnya, kebencian akan komunis kian besar kala meletusnya Gerakan 30 September (G30S) 1965. Pemerintah menganggap pemberontakan itu didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Karenanya, simpatisan PKI diburu dan tangkap.

Pemberontakan G30S adalah periode terberat dalam sejarah bangsa Indonesia. Aksi penculikan yang dilanggengkan pemberontak dianggap keji. Seisi Nusantara mengutuk kekejian yang menghilangkan nyawa Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Sisanya adalah staf umum Angkatan Darat, mulai Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono, Mayor Jenderal R. Suprapto, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo, Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, dan Lettu Pierre Tendean. Pangkostrad, Letjen Soeharto ambil sikap.

Ia menyebut PKI adalah dalang utama G30S. Ia menjalankan aksi perlawanan terhadap G30S dan berhasil. Kemudian, ia menumpas sebagian besar simpatisan PKI. Keberhasilan itu membuatnya dielu-elukan bak pahlawan. Bahkan, setelahnya ia dapat melaju mulus sebagai orang nomor satu Indonesia.

Harmoko, Menteri Penerangan RI selama dua periode (1983-1997) meninggal di Jakarta pada 4 Juli 2021 dalam usia 82 tahun. (Antara/Fouri Gesang Sholeh)/

Semenjak itu PKI dan ideologi komunis dilarang. Simpatisannya diburu. Ada yang dibunuh. Ada yang di penjara tanpa kejelasan proses hukum. Pun kalau bebas, orang-orang yang berafiliasi dengan PKI takkan mendapat hak utamanya sebagai warga negara Indonesia.

Sekali pemberontak tetaplah pemberontak. Langkah penumpasan simpatisan PKI pun melebar ke mana-mana. Mereka yang dianggap melawan pemerintah kerap dilabeli terafiliasi dengan PKI. Label itu bak cara mudah menghukum lawan politik dan lain sebagainya. Sebab, dianggap bagian dari PKI tak ubahnya jalan menuju kehinaan.

Mereka akan susah menjalani kehidupan karena dianggap jadi bagian dari partai terlarang. Namun, pemerintah –lewat Soeharto— menolak disebut biang keladi perlakuan buruk kepada simpatisan PKI. Ia menganggap pemerintah bukan dalang penumpasan PKI, tapi rakyat Indonesia.

“Tidak ada tugu peringatan dibangun di Monumen Pancasila Sakti bagi rarusan ribu korban. Saat menyinggung tentang kekerasan yang terjadi, dalam kesempatan yang amat langka, Soeharto menjelaskannya sebagai sesuatu yang bersumber pada konfik dalam masyarakat.”

“Dalam pidato pada 1971, ia menyampaikan analisis tentang sebab-musabab pembunuhan itu dalam satu kalimat singkat, Ribuan korban jatuh di daerah karena rakyat bertindak sendiri, juga karena prasangka buruk antar golongan yang selama bertahun-tahun ditanamkan oleh praktek politik yang sangat sempit. Dengan demikian Angkatan Darat seolah-olah tidak memainkan peran apa pun dalam mengatur pembunuhan rakyat melakukannya sendiri untuk alasan yang tidak ada kaitan dengan operasi penghancuran G30S oleh militer,” terang John Roosa dalam buku Dalih Pembunuhan Massal (2008).

Komunisme sudah dilarang di Indonesia berdasarkan TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia. (Thinkstock)

Imbasnya pemberian label PKI ke mana-mana. Tiada perusahaan yang mau menerima mantan simpatisan atau orang yang dituduh sebagai bagian dari PKI. Sebab, menerima orang-orang dianggap sama saja dengan menggali kubur sendiri.

Pemerintah sendiri secara tersirat tak melarang pengusaha atau perusahaan pers memperkerjakan simpatisan PKI. Namun, sikap pemerintah justru berbeda. Empunya kuasa Orde Baru (Orba) kerap meminta pengusaha dan lainnya untuk bersih-bersih lingkungan dari orang-orang berideologi komunis.

Ucapan itu pula yang kemudian didengungkan Menteri Penerangan, Harmoko dalam pembukaan Sidang Pleno ke-31 Dewan Pers di Batam pada 20 September 1988. Harmoko dengan tegas meminta perusahaan pers untuk segara bersih-bersih lingkungan dari mereka yang berideologi komunis.

“Oleh karena itu, pers nasional sebagai lembaga yang kadar strategisnya juga tinggi bobotnya, maka wajib menegaskan syarat mutlak ‘bersih lingkungan’ bagi seluruh jajaran pers nasional dan keluarga besar pers nasional, termasuk lingkungan perusahaan percetakan dan lain-lain.”

“Bersih lingkungan yang kita maksudkan yaitu yang bersih dari pengaruh dan kecenderungan berpaham komunis. Jadi bukan bersih lingkungan dalam arti tidak boleh memperkerjakan sisa-sisa G30S/PKI di lingkungan media massa dan keluarga pers nasional. Tetapi bersih dari orang-orang yang condong berpaham atau mendukung paham komunis,” tertulis dalam laporan Majalah Pers Indonesia berjudul Pers Nasional Harus Bersih Lingkungan (1988).