Bagikan:

JAKARTA - Pernyataan kemerdekaan suatu bangsa kerap disambut dengan gegap gempita. Acaranya pun tak boleh sembarang. Pejuang kemerdekaan bahu-membahu mewujudkan suatu upacara kemerdekaan yang besar dan dihadiri banyak orang. Upaya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebaliknya.

Upacara itu digelar dengan sederhana, sekalipun penuh kehangatan. Tiada protokol pasti. Pengeras suaranya saja diambil dari tentara Jepang. Benderanya dijahit sendiri oleh istri Bung Karno, Fatmawati. Kesederhanaan itu dilengkapi dengan tiang bendera dari bambu.

Pejuang kemerdekaan Indonesia seakan tak bisa tidur nyenyak dalam bulan Agustus 1945. Mereka bak dipaksa bekerja dan merumuskan kemerdekaan Indonesia. Kondisi itu karena pengawasan Jepang mulai mengendur.

Pejuang kemerdekaan golongan muda --Sukarni, Sayuti Melik, Wikana, hingga BM Diah mulai mewarnai kanvas perjuangan. Mereka mulai banyak membangun gerakan. Mereka mencoba mengumpulkan pemuda dan senjata. Syukur-syukur gerakan itu berguna kala Indonesia terpaksa berperang.

Golongan tua juga tak kalah sibuk. Mereka dari Soekarno, Hatta, Radjiman Wedyodiningrat mencoba menagih janji Belanda memberi tanggal pasti untuk merdeka. Harapan untuk merdeka pun mulai terang benderang kala Jepang menyerah kepada sekutu pada 14 Agustus 1945.

Momentum pejuang kemerdekaan Latief Hendraningrat mengibarkan Bendera Merah Putih dalam upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. (Wikimedia Commons)

Momentum menyerahnya Jepang jadi gema paling besar di antara pejuang kemerdekaan. Pejuang kemerdekaan golongan tua dan muda semakin tak bisa tidur. Mereka terus berpacu dengan waktu. Golongan muda mulai menekan golongan tua untuk memerdekakan Indonesia pada 15 April 1945.

Hasilnya nihil. Tiada yang menyanggupi. Golongan muda yang tak sabaran segera menculik Soekarno-Hatta pada 16 Agustus 1945. Hari itu pula kemudian kedua golongan bertindak merumuskan Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di rumah petinggi angkatan laut Jepang, Laksamana Tadashi Maeda. Orang Jepang yang pro Indonesia merdeka.

Malam yang panjang nan melelahkan berlangsung hingga dini hari pada 17 Agustus 1945. Naskah Proklamasi Kemerdekaan pun rangkum. Hasilnya, upacara proklamasi kemerdekaan akan dilangsungkan di rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56.

Ratusan orang dari segala macam elemen pejuang hadir. Soekarno dan Hatta mewakili segenap bangsa Indonesia mengumandangkan Kemerdekaan Indonesia. Buahnya 17 Agustus 1945 jadi hari kemerdekaan bangsa Indonesia.

“Demikianlah saudara-saudara. Kita sekarang telah merdeka. tidak ada satu ikatan yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita. Mulai saat ini kita menyusun negara kita. Negara merdeka, negara Republik Indonesia –merdeka, kekal, abadi. Insya Allah, tuhan memberkati kemerdekaan kita itu,” terang pidato Bung Karno dikutip dokter pribadinya yang juga menyaksikan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, R. Soeharto dalam buku Saksi Sejarah (1989).

Acara Sedehana, Dampak Luar Biasa

Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung dengan lancar. Namun, acara yang paling menentukan dalam sejarah bangsa Indonesia jauh dari kemewahan – jika tak ingin dikatakan terlampau sederhana.

Namun, begitulah adanya. Proklamasi kemerdekaan dilakukan tanpa persiapan yang memadai. Lokasi Proklamasinya saja hanya berada di halaman rumah Bung Karno, bukan di lapangan besar yang notabene dapat menampung puluhan hingga ratusan ribu massa.

Mereka yang hadir hanya ratusan orang. Istri Soekarno, Fatmawati bahkan mencoba menghitungnya. Ia katakan yang datang tak lebih dari 300-an orang. Bung Karno sendiri menggambarkan upacara itu sangat sederhana.

Upacaranya dilakoni tanpa suatu protokol. Tiada yang ditugaskan. Tiada pula yang menugaskan. Orang-orang hanya memahami yang bertindak sebagai proklamator adalah Soekarno-Hatta. Sisanya hanya improvisasi masing-masing orang.

Orang-orang yang jadi saksi segera melakukan parade selepas upacara Proklamasi kemerdekaan Indonesia di Pegangsaan Timur 56 pada 17 Agustus 1945. (Wikimedia Commons)

Perlengkapan yang digunakan untuk menjungkang proklamasi tak kalah sederhana. Proklamasi itu dilengkapi dengan pengeras suara. Itupun hasil curian dari stasiun radio Jepang. Bendara Merah Putih saja berasal dari hasil jahitan istri Bung Karno, Fatmawati.

Kesederhanaan itu kian bertambah dengan tiang bendera yang hanya berupa sebatang bambu panjang. Tiada musik. Tiada pula orkes. Selepas proklamasi pun jamuan makan terhitung seadanya. Pun karena pada saat itu bulan puasa. Kondisi itu jauh dari sederhana dibanding penyataan kemerdekaan negara lain.

Belakangan suasana yang sederhana dan khidmat itu nyatanya jadi sejarah paling penting bagi bangsa Indonesia. Kesederhanaan itu tak lantas membuat pengaruh Proklamasi Kemerdekaan Indonesia mengecil. Pengaruh proklamasi justru menggelegar.

Seisi Indonesia terbakar semangatnya untuk menjaga kemerdekaan Indonesia: sekali merdeka, tetap merdeka. Mereka tak ingin dijajah untuk kesekian kali. Pejuang kemerdekaan pun bersiap angkat senjata membawa bangsa dan negara kala penjajah Belanda kembali datang dengan sekutu Inggris.

“Tidak ada orang yang ditugaskan mengibarkan bendera Merah Putih keramat itu. Tidak ada persiapan untuk itu, dan tak seorang pun berpikir sejauh itu. Latief Hendraningrat, satu dari beberapa hadiran yang memakai seragam, berada dekat tiang.”

“Setiap orang menunggu dengan tegang ketika dia mengambil bendera itu, mengikatkan pada tali yang kasar dan kusut dan mengibarkannya seorang diri, dengan kebanggaan untuk pertama kalinya setelah tiga setengah abad. Tidak ada music, tidak ada orkes. Setelah bendera dikibarkan, kami menyanyikan lagu Indonesia Raya,” ungkap Bung Karno ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014).