Bagikan:

JAKARTA - Kehadiran sistem multipartai punya dampak negatif bagi pemerintah Orde Lama. Kondisi itu membuat hajat hidup rakyat jadi nomor kesekian. Soekarno berang bukan main. Bung Karno menggagas golongan fungsional antipartai atau Golongan Karya (Golkar) – Sekber Golkar.

Segala macam golongan masyarakat bergabung – dari militer hingga buruh. Tongkat estafet eksistensi Sekber Golkar lalu diambil Soeharto dan Orde Baru. Kondisi itu membuat Golkar jadi alat politik Orba yang efektif hingga berkuasa 32 tahun.

Laku hidup negara dengan sistem multipartai tak berjalan mulus-mulus saja. Kondisi itu kerap membuat pihak eksekutif kelabakan. Alih-alih banyak partai mempermudah keberpihakan ke rakyat, banyak partai justru sibuk berbagi dan berebut kuasa.

Hajat hidup rakyat jadi nomor kesekian. Potret itu bukan saja berlangsung di negara-negara dunia. Indonesia sendiri pernah mengalaminya di era pemerintahan Soekarno dan orde Lama. Bung Karno berang bukan main.

Ia pun menghendaki kehadiran golongan fungsional antipartai. Suatu gagasan kolaborasi antara pemikiran dirinya, Soepomo dan Ki Hajar Dewantara. Kekhawatiran Soekarno coba diwujudkan oleh kalangan militer Angkatan Darat.

Kampanye Golkar di era 1980-an. (Perpusnas)

Mereka menginisiasi terbentuknya Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) pada 7 Januari 1958. Kehadiran dianggapnya mendesak. Namanya saja FNPIB. Namun, tujuan sebenarkan FNPIB itu untuk dapat menandingi kekuatan partai-partai yang ada, utamanya Partai komunis Indonesia (PKI).

 A.H Nasution jadi ketuanya. Soekarno pun merestuinya. Soekarno lalu merasa FNPIB harus dikuatkan. Ia menginisiasi perubahan FNPIB jadi Front Nasional pada 31 Desember 1959. Tujuannya diperluas. Mulanya pembebasan Irian Barat kemudian jadi upaya menyelesaikan revolusi nasional.

Organisasi yang dulunya terbebas dari pengaruh parpol mulai terganggu. Parpol mulai menginginkan mereka ikut andil dalam Front Nasional. Kehadiran mereka dianggap jadi jalan Front Nasional dapat menjangkau masyarakat luas.

Partai pun mulai terlibat. PKI mulai menunjukkan ketidaksukaannya. Mereka mencoba mengganggu eksistensi militer di Front Nasional. Gangguan itu membuat organisasi lainnya segera menggandeng militer menghadirkan Sekber Golkar pada 19 Oktober 1964. Istimewanya, Sekber Golkar mendapatkan restu dari Bung Karno.

“Peristiwa itu terjadi pada 19 Oktober 1964 malam, 24 tahun silam, di aula Sekretariat Front Nasional, Jalan Merdeka Selatan 13 Jakarta. Pada malam itu, hadir 35 organisasi fungsional yang punya niat sama: bergabung membangun kelompok baru yang bercirikan federatif. Keesokan paginya, 97 organisasi secara bulat menyatakan niatnya untuk bergabung dalam Sekber Golkar.“

“Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, yang telah dipersiapkan sebelumnya, dibahas secara singkat, dan diterima dengan beberapa perubahan. Lantas, rapat besar itu mengamanatkan agar segera dibentuk dewan pimpinan harian. Pertemuan pun usai. Sementara itu, di luar gedung sekretariat itu, berlangsung aksi demonstrasi oleh barisan Pemuda Rakyat, organisasi yang bernaung di bawah bendera PKI. Para demonstran mengacung-acungkan spanduk yang bertuliskan: Bubarkan Sekber Golkar,” ungkap Putut Tri Husodo dan Priyono B. Sumbogo dalam tulisannya di majalah Tempo berjudul Golkar, Sejak Tengah Malam, 24 (1988).

Alat Politik Orde Baru

Eksistensi Sekber Golkar tak lantas mengerut kala Soekarno dan Orde lama tumbang. Sekber Golkar justru mampu bernapas lega karena Soeharto dan Orba menghendaki kehadirannya. Sekber Golkar pun jadi alat politik dari Orba.

Boleh jadi kala itu Sekber Golkar bukan dikenal sebagai partai politik tradisional. Namun, Orba dapat melakukan segalanya. Sekber Golkar mulai dibajak dan namanya cukup Golkar saja pada awal 1970-an. Tujuannya supaya Golkar dapat mengikuti pemilu dan berhasil pada 1971.

Kolaborasi Orba dan Golkar pun mencapai puncak pada tahun-tahun setelahnya. Golkar terus mendominasi hajatan pesta rakyat, Pemilu. Barang siapa yang melawan Soeharto, Orba, dan Golkar niscaya akan keok. Anggota Golkar ada di mana-mana. Pun kader militan bejibun.

Golkar bak jadi pengaman kekuasaan Soeharto dan Orba hingga mencapai 32 tahun. Pengalaman itu membuat Golkar dapat bertahan dari segala macam cobaan. Buktinya, Golkar tak lantas hancur lebur kala Soeharto dan Orba runtuh pada 1998.

Golkar pun mencoba membuang atribut Orba. Alhasil, Golkar mulai mengikuti kehendak rakyat untuk jadi parpol. Golkar pun resmi jadi berubah dari organisasi fungsional ke Parpol pada 1998. Ajian itu membawa hasil yang mengesankan, bahkan hingga tulisan ini dibuat.

Kampanye Golkar di era 1980-an lewat pembagian bansos. (Perpusnas)

Golkar mampu muncul jadi salah satu parpol kuat era reformasi. Suaranya mereka tetap kuat. Basis massa terjaga. Jikalau ada yang berubah, Golkar tak lagi banyak dihuni oleh golongan karya dari berbagai latar belakang. Sebab, yang menjadi pimpinan Golkar didominasi hanya sebuah golongan: Golongan Pengusaha.

“Pemerintah juga berusaha sekuat mungkin untuk melumpuhkan partai-partai politik yang ada lewat kebijakan-kebijakan intervensi. Tujuannya untuk mengisolasi para pemimpin berpengaruhnya dan untuk mengamankan kepemimpinan yang patuh dalam partai-partai tersebut.”

“Yang lebih penting, sebelum pemilihan umum diadakan, rezim Orde Baru juga telah mempersiapkan kendaraan politiknya yang baru untuk memenangkan pemilihan umum, yaitu Sekretariat Bersama Golongan Karya yang sejak 17 Agustus 1971 dikenal sebagai Golongan Karya (Golkar),” terang Yudi Latif dalam buku Genealogi inteligensia (2013).