JAKARTA - Tiada yang meragukan daya tarik kesenian Reog Ponorogo. Pementasannya ditunggu banyak orang. Bahkan, kesenian itu jadi jaminan mutu mendatangkan penonton dalam jumlah besar. Kondisi itu dimanfaatkan parpol era Orde Lama.
Reog Ponorogo digunakan parpol sebagai alat politik. Partai Komunis Indonesia (PKI) hingga Partai Nasional Indonesia (PNI) menggunakan kesenian itu untuk menghimpun suara. Barang siapa yang tak menggunakan Reog, niscaya suara partainya akan jeblok.
Tiap gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) punya keunikannya sendiri. Hajatan yang kerap disebut sebagai pesta rakyat di era kekinian selalu disambut dengan antusias. Atraksi politik yang bejibun jadi muaranya. Kondisi itu telah berlangsung dari gelaran pemilu perdana era Orde Lama pada 1955.
Pemilu 1955 memberikan ruang yang besar bagi semua ideologi politik untuk berlaga. Partai berideologi agamis, nasionis, dan komunis dapat berjuang di jalannya masing-masing. Kesempatan mereka beradu gagasan di muka umum terbuka lebar.
Parpol pun mulai putar otak untuk menarik massa. Sebab, mereka harus dapat menyiapkan calon anggota DPR (pemilihannya 29 September 1995) dan anggota Dewan Konstituante --kini MPR (15 Desember 1955) yang mempuni.
Proses pemungutan suaranya saja berlangsung di 16 wilayah pemilihan di Nusantara. Pemungutan itu mencangkup total pemilih 42 juta lebih yang dihadirkan dari 208 kabupaten, 3.141 kecamatan, serta 42.092 desa.
Cara-cara kreatif yang mengandalkan seni mutlak dibutuhkan. Lagu-lagu propaganda disiapkan. Slogan-slogan merakyat apalagi. Kesenian daerah pun mulai banyak digunakan oleh partai bernuansa agamis, nasionalis, atau komunis.
Partai Komunis Indonesia (PKI), misalnya. Mereka tak cuma mengunakan kesenian daerah sebagai ajian menarik massa. Mereka juga kerap mendukung para pelaku kesenian. Hajat hidup mereka diperhatikan. Kondisi itu membuat banyak sanggar atau kelompok seni berpihak ke PKI.
BACA JUGA:
“Saya sebagai seorang pengarang non-Komunis dalam mencintai kehidupan sastra dan seni, belum pernah sayaa temukan, partai politik dengan sungguh-sungguh dan secara sistematik memasukkan acara kegiatan dan kepemimpinannya, mendorong, memimpin dan mengajari kehidupan sastra dan seni.”
“Kehidupan yang dimaksud sebagai usaha agar sastra dan seni benar-benar menjadi komponen perjuangan politik dalam rangka merampungkan Revolusi Indonesia dengan tahap-tahapnya. Dalam hal ini saja katakan secara jujur dan terus-terang ialah PKI,” ungkap Utuy Tatang Sontani ditulis Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan dalam buku Lekra Tak Membakar (2020).
Reog Ponorogo Jadi Alat Politik
Upaya menggunakan seni tradisional tak melulu jadi monopoli PKI dalam menjaring suara. Namun, partai-partai lainnya juga melakukan yang hal yang sama. Kondisi itu terlihat dalam menjadikan Reog Ponorogo sebagai alat politik menjaring suara.
Pilihan menggunakan Reog Ponorogo didasari dari popularitas kesenian itu di Pulau Jawa. Kapan saja penampilan seorang penari bertopeng harimau—Singa barong yang ditunggangi seorang merak dimainkan, sudah tentu suatu tempat bakalan ramai.
Parpol pun mulai melihat Reog sebagai suatu kesenian populer, bukan sebagai tarian yang menurut tradisi lisan adalah tarian menyindir penguasa – kala itu Maharaja Majapatih, Brawijaya V. Sederet parpol pun kepincut.
PKI, Partai Nasional Indonesia, hingga Partai Nahdlatul Ulama (NU) mulai menjaring kelompok dan unit Reog Ponorogo untuk menjaring suara rakyat. Upaya menjaring itu tak sulit. Masing-masing desa di Ponorogo paling tidak memilik dua unit Reog Ponorogo.
Opsi itu membawa keberhasilan bagi Parpol. Mereka yang memilih menggunakan Reog Ponorogo memiliki suara yang bagus. Parpol yang tak menggunakannya suara jeblok di Ponorogo. Partai Masyumi, misalnya. Kondisi itu membuktikan bahwa andil kesenian daerah dapat menjadi nilai tambah menjaring suara rakyat.
“Menjelang pemberontakan G30S/PKI 1965 kesenian rakyat ini memang maju pesat. Terutama karena organisasi komunis waktu itu memperalatnya untuk menarik perhatian massa. Bahkan reog sempat dianggap sebagai hanya milik Lekra, organisasi kebudayaan PKI waktu itu.”
“Tapi tak hanya PKI yang memperalat reog untuk tujuan politik (pada Pemilu 1955). Juga PNI dan NU. Kalau PKI mengklaim memiliki 300 unit, PNI mengaku punya 400 unit dan NU melaporkan 100 unit. Suasana bersaing antar partai besar sekali,” tertulis dalam laporan majalah Tempo berjudul Reog Tanpa Warok dan Gemblak (2008).