Bagikan:

JAKARTA - Perdebatan golongan tua dan muda untuk Indonesia merdeka berlangsung sengit. Golongan muda – Sukarni, Wikana dan lainnya kurang menyukai gaya golongan tua yang menanti hadiah kemerdekaan dari Jepang.

Upaya mendesak golongan tua – Soekarno dan Hatta dilakukan. Pejuang kemerdekaan itu diculik ke Rengasdenglok. Situasi memanas. Kedua kelompok saling adu argumen. Ada pula nada meremehkan. Namun, keputusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia harus diambil.

Peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki bawa kepedihan bagi Jepang pada 6 dan 9 Agustus 1945. Kondisi itu membuat Jepang goyah. Mereka tak memiliki asa lagi memperjuangkan keinginannya sebagai kekuatan besar di dunia.

Jepang lalu menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Berita Jepang menyerah telah menyebar ke seantero negeri. Gerakan pejuang kemerdekaan bawah tanah dan golongan muda pun sudah mendengar berita yang sama.

Presiden Soekarno didampingi Wapres Moh Hatta melakukan jumpa pers sebagai Pemerintah RI yang pertama di Pengangsaan Timur 56, Jakarta, 4 September 1945. (FOTO ANTARA-IPPHOS)

Mereka menunggu tanggapan dari pejuang kemerdekaan golongan tua seperti Bung Karno, Bung Hatta, hingga Achmad Soebardjo. Perbedaan pendapat terjadi. Golongan tua masih menunggu janji Jepang untuk merdeka.

Golongan muda sebaliknya. Mereka memaksa supaya kemerdekaan dapat berlangsung dalam tempo cepat. Mereka berpegangan pada fakta Jepang sudah tak memiliki angkatan perang yang mempuni.

Golongan muda seperti Sukarni, Wikana, hingga BM Diah berang. Mereka tak mendapatkan waktu untuk duduk bersama. Kondisi itu membuat golongan muda gelap mata. Mereka pun bermaksud menculik ikon perjuang Indonesia Soekarno dan Hatta pada dini hari, 16 Agustus 1945.

Penculikan Soekarno saja sempat menegangkan. Segerombolan pemuda dengan pakaian seram mendatangi kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56. Mereka mengarahkan pistol dan sebilah pisau ke arah Bung Karno yang baru selesai sahur – kondisi sedang bulan Ramadan.

Mereka meminta Bung Karno untuk ikut. Bung Karno tak gentar. Ia bahkan mengajak istrinya, Fatmawati dan anaknya Guntur untuk ikut ke sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Rengasdenglok, Karawang, Jawa Barat. Kondisi yang sama juga dialami oleh Hatta.

“Di luar sudah menunggu sedang Fiat hitam kecil. Di dalam ternyata sudah menunggu Bung Hatta. Kami duduk di belakang berempat. Sedangkan Sukarni dengan satu temannya duduk di depan di samping pengemudi, yaitu saudara Winoto Danuasmoro.”

“Malam gelap gulita. Hawa terasa dingin, mobil terus menuju ke satu tempat yang masih aku ingat adalah seperti tempat penjagaan (pos). Di sini aku cuci muka dan aku menyusukan bayiku, karena jam lima pagi sudah biasa disusukan. Aku tak tahu bahwa susu persediaan tertinggal di Jakarta. Kami pindah mobil. Mobil Fiat kembali untuk mengambil susu bubuk yang tertinggal di Jakarta,” ungkap istri Bung Karno, Fatmawati dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno (2016).

Perdebatan Sengit

Perdebatan berlangsung di Rengasdengklok. Golongan muda diwakili Wikana mencoba menyatakan maksudnya. Mereka menguraikan bahwa saat ini waktu yang tepat untuk memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia.

Kondisi itu didasari fakta Jepang sudah kalah. Namun, pandangan itu tak langsung diindahkan. Bung Karno berseru bahwa golongan muda harus menanti aba-aba darinya untuk merdeka. Pejuang kemerdekaan Indonesia bisa terjebak dalam perang besar jika gegabah.

Golongan muda pun menganggap mereka sudah bersiap berperang dengan Jepang. Golongan tua menganggap hal itu tak realistis. Sebab, pejuang Indonesia tak unggul dalam hal persenjataan dan segala macamnya. Golongan tua meminta mereka untuk memikirkan matang-matang rencana untuk merdeka.

Achmad Soebardjo yang menyusul ke Rengasdengklok mencoba mendinginkan suasana. Ia mencoba menenangkan golongan tua-muda. Ia meminta golongan muda supaya memikirkan untung rugi dalam tiap tindakan. Golongan muda tak kehilangan jawaban.

RUmah tempat Soekarno dan Mohammad Hatta disembunyikan di Rengasdengklok, Karawang. (Wikimedia Commons)

Mereka mengaku memiliki sedikit senjata, tapi mereka merasa persenjataan apa saja bisa gunakan untuk berjuang, tak cuma pistol dan bedil. Wikana sempat naik pitam. Bahkan, ia sempat memegang batang leher Bung Karno.

Namun, Bung Karno tetap pada pendiriannya. Nyali Bung Karno justru menantang Wikana menggorok lehernya. Bung Karno tak mau mengorbankan nyawa rakyat demi nafsu kemerdekaan ala golongan muda. Kesimpulan pun diambil.

Golongan tua tak ingin kemerdekaan pada 16 Agustus 1945. Mereka kemudian memilih 17 Agustus 1945. Golongan muda tak dapat menolak. Apalagi, BM diah dari golongan muda sudah menyebutkan bahwa hanya Soekarno dan Hatta yang dapat memerdekakan Indonesia. Pun 16 Agustus 1945 jadi hari tersibuk buat pejuang kemerdekaan dan Proklamasi kemerdekaan pun berlangsung pada keesokan harinya, atau pada 17 Agustus 1945.

Bung Karno saat menghadiri rapat raksasa menyambut Proklamasi Kemerdekaan R.I di Lapangan Ikada Jakarta (Lapangan Monas), 19 September 1945. (Arsip Kompas)

“Bung sebagai pemimpin kami, pemimpin rakyat harus mengambil satu sikap tegas. Bung Karno harus memproklamirkan kemerdekaan, kemerdekaan bangsa Indonesia. Kami pemuda sudah siap. Tetapi, kami tidak akan sanggup sendiri memproklamirkan kemerdekaan.”

“Bung Karno dan Bung Hatta adalah pemimpin rakyat seluruhnya. Hanyalah Bung keduanya dapat dipercayai, diikuti oleh rakyat. Kami akan menjadi perisai rakyat dan menurut perintah Bung Karno dan Bung Hatta,” ungkap BM Diah dalam buku Catatan B.M. Diah (2018).