JAKARTA - Keinginan kaum bumiputra melepas belenggu penjajahan sudah final. Tiada alasan lagi untuk menunda proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pejuang kemerdekaan dari golongan muda segera memaksa golongan tua mewujudkan kemerdekaan.
Permintaan itu diwujudkan. Proklamasi kemerdekaan Indonesia dilangsungkan pada 17 Agustus 1945. Soekarno dan Hatta jadi perwakilan rakyat Indonesia. Proklamasi kemerdekaan pun tambah khusyuk dengan dikibarkannya Bendera Merah Putih dan Lagu Indonesia Raya, tanpa musik.
Peristiwa Jepang menyerah kepada sekutu adalah momen yang tak terlupakan dalam sejarah bangsa Indonesia. Pengaruhnya cukup besar bagi dunia. Namun, tidak serta merta bagi Indonesia. Kekuatan militer Jepang dianggap masih terlalu kuat. Itulah yang ada dalam kepala pejuang kemerdekaan Indonesia golongan tua.
Mereka menganggap rencana golongan muda yang memaksa melawan Jepang dengan angkat senjata adalah fantasi belaka. Apalagi tentara Jepang di tanah Jawa dianggap masih utuh. Golongan tua segera meminta golongan muda tahan amarah dan berpikir realistis.
Pandangan itu diamini oleh Bung Karno dan Bung Hatta ketika golongan muda menculik mereka ke Rengasdengklok. Oleh karena rencana itu, golongan muda disebutkan Bung Hatta Hatta bukan melakukan revolusi. Namun, membunuh revolusi. Penyerangan pun diurungkan. Merdeka tak harus dengan angkat senjata, pikirnya.
Jepang sebelumnya sudah menjanjikan kemerdekaan. Jadi, tiada yang salah jika Indonesia melangsungkan proklamasi kemerdekaan dengan segera. Karenanya, golongan tua dan muda bersepakat untuk meremuskan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Petinggi militer Jepang yang pro Indonesia, Laksamana Meida pun memfasilitasi tempat. Supaya keamanan pejuang kemerdekaan terjamin. Hasilnya, semua sepakat Proklamasi Kemerdekaan dilakukan keesokan harinya, 17 Agustus 1945.
“Aku baru bangun tidur sesudah sembahyang subuh, dan bangun kira-kira jam 8:30 pagi. Setelah mandi dan bercukur aku bersiap-siap untuk berangkat ke Pegangsaan Timur 56, guna menghadiri pembacaan teks proklamasi kepada rakyat banyak serta menaikkan bendera Sang Merah Putih yang akan dikunci dengan lagu Indonesia raya.”
“Kira-kira pukul 10 kurang 10 menit aku berangkat dari rumah dan lima menit sebelum jam 10 aku sudah berada di sana. Orang-orang tahu bahwa aku selalu tepat dengan waktu. Sebab itu tidak ada orang yang gelisah, kalau aku akan terlambat datang. Soekarno pun tak kuatir, karena ia tahu kebiasaanku,” ungkap Bung Hatta dalam buku Mohammad Hatta: Memoir (1979).
Merah Putih Berkibar dan Indonesia Raya Berkumandang
Detik-detik bersejarah pun terjadi. Satu demi satu kaum bumiputra mendatangi rumah Pegangsaan Timur 56. Suasana pun khusyuk. Apalagi kala itu bulan penuh berkah, Bulan Ramadan. Sedari pagi, semangat pejuang kemerdekaan telah meninggi. Tegang, tentunya.
Perlahan-lahan, matahari pagi mulai meninggi. itulah yang kemudian jadi penanda proklamasi kemerdekaan Indonesia segera dimulai. Bung Karno pun segera mengambil peran. Empunya rumah itu terlebih dahulu mengucapkan pidatonya.
Seperti biasa, retorika Bung Karno yang menggelegar mampu menghilangkan ketegangan dan kekakuan suasana. Riuh suara tepuk-tangan pun mendominasi setelahnya. Lagi pula, Bung Karno menyebut-menyebut para hadirin yang datang sebagai saksi sejarah dari salah satu peristiwa mahapenting. Yakni: Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Menurut taksiran istrinya, Fatmawati, kaum bumiputra yang datang mencapai 300 orang lebih. Setelah selesai pidato, Bung Karno lalu melanjutkan dengan pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pembacaan proklamasi begitu menggemparkan.
Banyak di antara mereka yang hadir langsung meneteskan air matanya. Terharu. Rata-rata mereka terharu karena kemerdekaan Indonesia yang sebelumnya sempat dianggap mitos, akhirnya terwujud. Kebanggaan pun mengiringi seluruh orang yang datang.
Upacara pengibaran bendera dilakukan dengan diiringi oleh lagu kebangsaan Indonesia Raya. Namun, berbeda dengan yang sudah-sudah. Lagu Indonesia Raya kala itu hanya dinyanyikan, tanpa musik. Padahal, sebelum-sebelumnya lagu Indonesia Raya acap kali dimainkan lengkap dengan musik. Kadang dengan musik saja.
“Setelah selesai memberikan pidatonya, mulailah Bung Karno membacakan teks proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Aku lihat beberapa orang menguncurkan air mata, gembira bercampur haru. Nampak olehku Pak Suwirjo terisak-isak, demikian juga aku sendiri. Saat itu aku melihat banyak lelaki yang mengucurkan air mata. Aku lihat Bung Karno dan Bung Hatta bersalaman, sementara itu Pak Latief Hendraningrat mempersiapkan upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih.”
“Aku bersama-sama dengan S.K. Trimurti menuju tiang bendera. Upacara bendera dipimpin Pak Latief, dengan diiringi lagu Indonesia Raya, tanpa musik. Semua tertib dan khusus. Bapak, Bung Hatta dan para tamu saling berbincang-bincang menuju ruang resepsi, ruang makan yang bisa menampung kurang lebih 200 orang. Sementara itu telah kusediakan makanan kecil sebelumnya,” ungkap Fatmawati dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno (2016).