JAKARTA - Hari ini 80 tahun yang lalu, atau tepatnya 6 Maret 1942, Letnan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Hubertus Johannes van Mook kabur ke Australia. Ia melarikan diri karena Jepang mulai menancapkan kuasanya di Bumi Nusantara. Bahasa mudahnya: Van Mook takut mati diganyang Jepang. Karenanya, peristiwa kaburnya Van Mook jadi lelucon di antara serdadu Jepang. Van Mook dianggapnya sebagai pengecut. Pun orang Jepang menganggap semua orang Belanda bernyali kecil seperti Van Mook.
Nyali Jepang dalam Perang Dunia II tak perlu diragukan. Sehabis luluh-lantakkan Pearl Harbor, Jepang memantik mimpi baru. Negeri matahari terbit ingin segera “membebaskan” negara Asia-Tenggara lainnya yang masih terjajah. Hindia-Belanda salah satunya.
Secara berturut-turut Jepang lalu melumpuhkan pusat kekuatan Belanda di wilayah Nusantara. Dari Tarakan, Balikpapan, Pontianak, Samarinda, Banjarmasin, Palembang. Puncaknya, pendaratan yang paling menentukan adalah saat pasukan Jepang mulai mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa pada 1 Maret 1942. Pendaratan itu dilakukan di tiga tempat. Banten, Indramayu, dan Bojonegoro.
“Setelah pendaratan itu, ibu kota Batavia (Jakarta) pada tanggal 5 Maret 1942 diumumkan sebagai ‘kota terbuka,’ yang berarti bahwa kota itu tidak akan dipertahankan oleh pihak Belanda. Segera setelah jatuhnya kota Batavia ke tangan mereka, tentara ekspedisi Jepang langsung bergerak ke selatan dan berhasil menduduki Buitenzorg (Bogor),” terang Nugroho Notosusanto dkk dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV (2008).
Pendaratan itu buat pemerintah kolonial Belanda mulai kelabakan. Jalur peperangan jelas bukan prioritas utama Belanda. Sebab, Belanda secara armada dan peralatan perang kalah jauh dari Jepang. Satu-satunya opsi bagi Belanda adalah bertahan dan menunggu bantuan dari negara sekutu. Namun, kedatangan pasukan bantuan kala itu tidak mudah. Jepang masih terlalu kuat. Belanda pun bersiasat untuk segera memindahkan pusat kekuasaan dari Batavia menuju Bandung.
Pemimpin Hindia Belanda kala itu ikut berpindah ke Bandung. Gubernur Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Van Mook sendiri. Siasat itu tak bertahan lama. Jepang tetap saja dapat mengacak-ngacak Belanda. Tjarda akhirnya memilih bertahan di Bandung. Sedang Van Mook nyalinya mulai ciut. Belanda tak mungkin menang lewan Jepang, pikirnya.
Ia memilih kabur dari Hindia-Belanda menuju Australia pada 6 Maret 1942. Kaburnya Van Mook kemudian jadi olok-olokan di antara serdadu Jepang. Bahkan, pemimpin tentara Jepang, Letnan Jenderal Imamura ikut-ikutan menjadikan Van Mook bahan lelucon.
“Di samping mereka, ada orang-orang yang dibawa oleh Belanda dari Indonesia karena ketika Jepang datang, orang Belanda kabur ke selatan ke Australia-dan mereka tidak bisa pergi ke mana-mana. Belanda secara resmi menyerah kepada Jepang, jadi Gubernur Belanda ditahan dan banyak orang Belanda di Indonesia dijadikan tawanan perang di kamp-kamp di Jawa dan tempat-tempat lain.”
“Namun, sementara orang Belanda berhasil sampai ke Australia, van Mook, Letnan Jenderal Gubernur, dan van der Plas sebagai contoh, cukup banyak orang, bukan hanya pejabat-pejabat Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda di pengasingan yang resmi mendapat suaka di Aüstralia,” tutup Molly Bondan sebagaimana ditulis Joan Hardjono dkk dalam buku Molly Bondan: In Love with A Nation (1995).