Sejarah 4 Maret 1822: Belanda Pukul Mundur Kaum Padri dari Kerajaan Pagaruyung, Sumatra Barat
Istana Pagaruyung, Sumatra Barat yang pernah terbakar pada saat Perang Padri pada tahun 1804. (Foto: Wikipedia)

Bagikan:

JAKARTA- Hari ini 200 tahun yang lalu, atau tepatnya 4 Maret 1822, Belanda berhasil memukul mundur kaum Padri dari Kerajaan Pagaruyung, Sumatra Barat. Letnan Kolonel Hindia-Belanda, Raaff ada di baliknya. Ia datang atas perintah Kaum Adat untuk menumpas kaum Padri. Ajian itu berhasil. Sebelumnya, Perang Padri adalah perang yang digelorakan kalangan ulama aliran Wahabi. Keengganan Kaum Adat menerapkan syariat Islam jadi muaranya. Apalagi kegiatan penuh dosa terus dilanggengkan. Perang pun digulirkan.

Kalangan ulama yang memimpin perlawanan terhadap Belanda tak sedikit. Ulama-ulama Minangkabau, misalnya. Haji Miskin, Haji Piabang, dan Haji Sumanik. Sepulangnya dari tanah suci Mekkah, mereka yang banyak terpengaruh aliran Wahabi tak cuma geram dengan penjajahan Belanda. Pun kegeraman itu muncul lantaran banyak di antara kelompok kerajaan (Kaum Adat) setempat tak menerapkan syariat Islam secara penuh.

Mereka pun memiliki keinginan untuk melakukan pemurnian Islam di tanah Minangkabau. Tujuannya supaya tanah Minangkabau bebas dari segala macam kegiatan yang dilarang agama. Gerakan itu langsung mendapatkan atensi lebih dari ulama lainnya. Mereka kemudian membuat kelompok. Kaum Padri namanya.

Ilustrasi Perang Padri. (Wikimedia Commons)

“Tentu saja gerakan pemurnian ketiga ulama muda tersebut mendapat perlawanan yang keras dari Kaum Adat. Gejolak pun terjadi. Tuanku Sumanik mendapat perlawanan hebat di negerinya hingga ia terpaksa pindah ke Lintau. Haji Miskin juga mendapat perlawanan yang tak kalah berat di Pandai Sikek hingga terpaksa pindah ke Ampek Angkek. Hanya Tuanku di Piabang yang tidak banyak mendapat tantangan.” 

“Para ulama Padri kembali berupaya melakukan pendekatan berunding dengan pihak Kerajaan Pagaruyung agar masyarakat dan Raja mau memurnikan ajaran Islam dengan menghapus adat kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Namun perundingan tersebut pada tahun 1803 mengalami kebuntuan yang berujung kepada konflik bersenjata antara Kaum Padri dan Kaum Adat yang dikenal sebagai Perang Padri,” ungkap Adi Teruna Effendi dkk dalam buku Jejak Islam di Nusantara (2019).

Perang itu berbuntuk panjang. Kaum Padri menyerang Kerajaan Pagaruyung yang sejatinya menolak pemurnian Islam. Sultan Tangkal Alam Bagagar, pemimpin Kaum Adat dianggap menutup mata dengan praktek penodaan agama. Dari perjudian, penggunaan madat, hingga konsumsi minuman keras.

Ilustrasi Perang Padri yang berlangsung 1803-1838. (Wikimedia Commons)

Tak lama setelahnya, Kerajaan Pagaruyung yang menjadi basis dari Kaum Adat dikuasai oleh Kaum Padri. Empunya kuasanya pun segera melarikan diri. Nyatanya, sang sultan tak hanya kabur, Ia yang tak menerima kekalahan segera bekerja sama dengan Belanda. Karenanya, kaum Padri dibuat repot oleh Belanda, hingga melarikan dari dari Pagaruyung. Peristiwa itu paling menentukan dan menjadi penyebab utama kekalahan dari kaum Padri pada kemudian hari.

“Untuk memperkokohnya tanggal 8 Desember 1821, Pemerintah Hindia Belanda mengirim pasukan dipimpin letnan-kolonel, Antoine Theodore Raaff dari kesatuan de Militaire Willems-Orde. Setelah direncanakan dengan matang, maka pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Raff berhasil memukul mundur kaum Padri keluar dari wilayah Pagaruyung. Setelah itu, Pemerintah Hindia Belanda membangun benteng pertahanan Fort Van der Capellen, di Batusangkar,” tutup Joko Darmawan dalam buku Ketika Nusantara Berbicara (2017).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH HARI INI atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.