Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 81 tahun yang lalu, 25 Maret 1942, Penjajah Jepang mengubah Penjara Glodok di Jakarta menjadi kamp interniran. Mereka yang ditawan di sana adalah orang-orang Eropa. Kamp itu sengaja dihadirkan untuk menarik simpati dari segenap kaum bumiputra.

Sebelumnya, kaum bumiputra sempat menyambut kehadiran penjajah Jepang dengan gegap gempita. Penjajah Jepang kemudian membalasnya dengan membuat orang Eropa –utamanya Belanda—hidup menempati kelas terendah. Mereka diperlakukan bak sampah.

Penjajahan Belanda dianggap sebagai periode menyakitkan dalam sejarah bangsa Indonesia. Belanda memperlakukan kaum bumiputra jauh dari kata manusiawi. Mereka menganggap rendah kaum bumiputra. Bahkan, sempat disetarakan dengan hewan.

Narasi itu memunculkan kebencian yang amat dalam bagi kaum bumiputra. Perlawanan pun dilakukan. Sekalipun Belanda kerap mampu memukul mundur. Alih-alih takut, Belanda justru kerap meremehkan. Kaum bumiputra bimbang bukan main. Mereka pun mendukung siapa saja yang berani melawan Belanda. Jepang, utamanya.

Kehadiran Jepang didukung penuh oleh kaum bumiputra. Mereka merasa orang Jepang memiliki simpati yang tinggi terhadap kemerdekaan Indonesia. Anggapan itu tambah kuat dengan keberanian Jepang memukul mundur Belanda pada 1942.

Kondisi kamp interniran yang menjadi tempat ditawannya orang-orang Eropa di Jakarta. (Wikimedia Commons)

Mereka kemudian mulai memberlakukan segenap orang Eropa dengan tidak manusiawi. Semuanya ditangkap, disiksa, dan disetarakan bak binatang. Keberanian Jepang itulah membuat kagum kaum bumiputra. Sekalipun penjajah Jepang justru tak jauh beda dengan penjajah Belanda.

“Tanpa disadari oleh orang Belanda pada umumnya, masyarakat Indonesia telah berubah dalam memandang orang Belanda. Pada zaman pendudukan Jepang, penduduk melihat bagaimana orang-orang Belanda yang dianggap ‘tuan’ dan lebih ‘superior’ atau lebih hebat itu ternyata tidak berdaya. Mereka ternyata tidak memberikan perlawanan yang berarti kepada musuh, yaitu tentara Jepang.”

“Mereka bahkan terlihat lari ketakutan dan kemudian tidak berdaya dalam kamp-kamp tahanan atau interniran. Orang Indonesia yang semula minder dengan ‘Ndoro Tuan’ Belanda kemudian berubah. Ternyata orang Belanda juga sama seperti orang bumiputra yang bisa ketakutan dan merasa kalah serta putus asa,” ungkap J.B. Sudarmanto dalam buku Biografi I.J. Kasimo: Politik Bermartabat (2011).

Penjajah Jepang pun mulai menangkap banyak orang Eropa. Jepang tak ingin mereka hidup bebas. Alhasil, seluruh orang Eropa yang ditangkap dikumpulkan di beberapa tempat. Mereka menamakannya sebagai kamp interniran.

Agenda penangkapan pun makin masif. Segala macam bangunan lalu disulap menjadi kamp interniran. Penjara Glodok, misalnya. Penjara yang pernah dihuni Bung Hatta itu dijadikan sebagai kamp tawanan perang untuk orang-orang Eropa pada 25 Maret 1942.

“Sedangkan di penjara Glodok (kini Pertokoan Harco, Jakarta Kota), pada 25 Maret 1942 dijadikan kamp tawanan perang pertama untuk orang-orang Eropa, kecuali warga Jerman dan Italia, yang kala itu menjadi sekutu Jepang dalam Perang Dunia II.”

“Tawanan perang yang dipenjarakan di Glodok jumlahya sekitar 1.500 orang, terutama terdiri dari serdadu Inggris dan Australia. Di antara mereka terdapat sejumlah kecil warga Belanda yang bekerja di Bandara Kemayoran,” terang Alwi Shahab dalam buku Saudagar Baghdad dari Betawi (2004).