JAKARTA - Kehadiran Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Bea Cukai) kerap membawa masalah. Bahkan, sejak pemerintahan Orde Lama. Alih-alih membawa keuntungan bagi negara, pegawainya bekerja macam pejabat VOC yang melulu urusi kepentingan pribadi.
Kondisi itu membuat Presiden Soeharto dan Orde Baru (Orba) geram bukan main. Apalagi lembaga itu kerap menyulitkan importir besar. Soeharto mengambil sikap. Ia membuat Bea Cukai bak mati suri. Seluruh pegawainya –13.000 orang-- dirumahkan, setengahnya lalu dipecat.
Isu menjamurkan praktek korupsi di Bea Cukai bukan barang baru. Kehadirannya sebagai pintu perdagangan Indonesia jadi musabab. Fungsi vital itulah yang membuat banyak di antara pegawainya melanggengkan praktek curang nan korup.
Penyelundupan barang dan penggelapan pajak jadi ajian. Pun praktek itu tak jauh beda dengan yang pernah dilalukan pejabat masakapai dagang Belanda, VOC ratusan tahun lalu. Empunya kuasa hanya peduli dengan keuntungannya pribadi, sedang keuntungan untuk VOC tak lagi dipikirkan. Suatu perilaku korup yang menjadi salah satu alasan VOC bubar dan bangkrut.
Kondisi yang sama dilanggeng pejabat Bea Cukai korup. Mereka hanya peduli dengan keuntungan pribadi, tak lebih. Soekarno dan Orde Lama melihat masalah itu cukup vital. Bung Besar kemudian mencoba melakukan beberapa gebrakan.
Mengganti Menteri Iuran Negara yang membawahi Bea Cukai, misalnya. Bung Karno sempat mempercayakan posisi itu kepada Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso. Semuanya karena Hoegeng dikenal antisuap dan jujur. Hasilnya gemilang.
Polisi jujur itu mampu mengidentifikasi segala macam tetek bengek masalah yang dihadapi Bea Cukai, sekalipun kepemimpinannya singkat. Hoegeng menemukan penyelundupan dan penggelapan pajak jadi masalah klasik yang masih dihadapi Bea Cukai sepanjang waktu.
“Masalah-masalah umum yang saya hadapi berkaitan dengan fungsi saya sebagai Menteri Iuran Negara adalah masalah-masalah klasik seperti penyelundupan atau penggelapan pajak dan bea cukai. Selain merupakan kesukaan manusia untuk dapat untung besar dengan risiko kecil, maka kesulitan dialami karena kelemahan-kelemahan internal kita sendiri.”
“Misalnya kekurangan dalam sistem, peralatan, dan orang-orang, apa lagi yang cakap, berani, serta jujur. Prosedur yang berbelit-belit, misalnya, atau kekurangan kapal, termasuk di dalamnya. Kebutuhan akan pejabat yang cakap, berani, serta jujur diperlukan dalam kasus-kasus tertentu,” ungkap Hoegeng Imam Santoso sebagaimana ditulis Abrar Yusra da Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).
Bea Cukai Mati Suri
Kondisi yang tak jauh berbeda juga hadir di era Orde Baru. Malahan, kewenangan yang dimiliki Bea Cukai bertambah besar. Mereka bak menjelma sebagai law unto itself, alias lembaga yang menjadi hukum itu sendiri pada 1980-an. Pemerintah Orba pun kesulitan untuk melanggengkan fungsi kontrolnya.
Bea Cukai yang harus bekerja untuk mempermudah perdagangan justru bekerja sebaliknya. Mereka kerap jadi sumber keterlambatan dan praktek korupsi. Kegiatan itu ditunjang dari segenap atasan hingga bawahan yang korup. Akibatnya, pemerintah Orba ketimban komplain dari ragam pengusaha, termasuk dari Jepang.
Mereka mengkritik Bea Cukai yang bertindak lamban dan kerap meminta pungutan liar yang tak sedikit. Keluhan itu kemudian sampai ke telingga Presiden Soeharto. The Smiling General pun berang bukan main. Beberapa kali Dirjen Bea dan Cukai dipanggil Soeharto ke kediamannya.
Ia menjelaskan panjang lebar perihal komplain yang dilanggengkan sederet pengusaha. Namun, Bea Cukai tak kunjung memperbaiki kinerja. Apalagi kondisi Bea Cukai justru semakin korup. Soeharto pun menggunakan opsi terakhirnya.
Ia membuat Bea Cukai mati suri. Kehadiran Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 jadi muaranya. Instrukti itu menjadi alat Soeharto merumahkan pegawai Bea Cukai. Tak hanya satu atau dua orang.
Soeharto merumahkan seluruh pegawainya yang berjumlah 13.000 orang dan setengah diantara kemudian dipecat. Keputusan itu membuat pemerintah memilih perusahaan swasta asal Swiss, Suisse Generale Surveillance untuk menggantikan peran Bea Cukai.
“Pemerintah Orde Baru telah melaksanakan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya: memberi kepercayaan pada sebuah perusahaan swasta, milik pihak asing lagi untuk mengemban peran publik yang vital. Dalam konteks Indonesia-- di mana lembaga-lembaga ekonomi swasta, apalagi yang dimiliki oleh warga non-Indonesia, selalu dipandang dengan penuh kecurigaan oleh masyarakat dan elite politik. Namun, keputusan tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat dianggap remeh.”
“Lebih dari itu, ia juga merupakan isyarat awal bahwa pemerintah sebenarnya mau dan mampu untuk secara langsung menghadapi masalah korupsi dan ketidakefisienan. Dengan melepaskan fungsi pengelolaan langsung Bea Cukai, pemerintah praktis memberhentikan sekitar setengah dari pegawai Bea Cukai yang berjumlah 13.000 orang itu, yang semuanya orang Indonesia asli dan pegawai negeri,” terang Rizal Mallarangeng dalam buku Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992 (2002).