JAKARTA – Sejarah hari ini, 116 tahun yang lalu, 27 Juni 1906, pemerintah kolonial Hindia-Belanda tetapkan wilayah Makassar sebagai pelabuhan wajib pajak. Aturan itu dibuat Belanda seiring banyaknya wilayah di Nusantara yang telah ditaklukkan. Kehadiran aturan pelabuhan wajib pajak membuat “rekening” Belanda makin gemuk. Pun jadi bukti bahwa siasat Belanda, devide et impera nyatanya masih bertaji. Alias cukup mujarab. Karenanya, kekuasaan Belanda semakin besar dan mengakar di Nusantara.
Kehadiran maskapai dagang Belanda, VOC adalah muasal penderitaan kaum bumiputra. Perusahaan dagang itu bertujuan untuk melindungi perdagangan Belanda di wilayah Nusantara. Negeri Kincir Angin pun memahami, VOC takkan langgeng jika tak diberikan hak istimewa. sokongan hak istimewa dan dana besar diberikan.
Alih-alih hanya untuk memonopoli perdagangan di Nusantara, VOCjustru diberikan pula hak istimewa untuk memiliki angkatan perangnya sendirinya. Kuasa itu buat kekuatan VOC bukan main besarnya. VOC dapat mengumandangkan peperangan. Sebagai antisipasi jika ada kaum bumiputra atau bangsa lain yang mengganggu eksistensi perdagangannya.
Masalah pun muncul. Siasat melakukan peperangan kurang tepat. Tenaga dan dana besar cepat terkuras habis. Lagi pula, keuntungan yang diraih VOC tak begitu besar. Bahkan, tak jarang pengeluaran perang jauh lebih besar, dibanding keuntungan yang masuk. VOC putar otak. Mereka mengganti siasat. Siasat perang tak jadi opsi utama.
VOC memilih siasat yang lebih elegan. Devide et impera, namanya. Politik adu domba itu pun membawa VOC ke puncak kejayaan. VOC untung besar karenanya. Apalagi biaya yang dikeluarkan relatif kecil. Itulah yang dilakukan VOC kepada Kesultanan Banten dan Kerajaan Mataram.
“Dengan senjata ampuhnya yang terkenal di dalam Sejarah Indonesia dengan nama ‘devide et impera’ atau politik pecah-belah dan jajahlah, akhirnya kaum penjajah Belanda dapat menguasai baik Kerajaan Banten maupun Kerajaan Mataram.”
“Kerajaan Mataram pun yang pada masa pemerintahaan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) mencapai puncak kejayaannya, karena senjata devide et impera Belanda, akhirnya terpecah-belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang berada di bawah kekuasaan penjajahan Belanda. Hal ini harus dicamkan betul-betul dan dijadikan pelajaran dari sejarah oleh bangsa Indonesia yang menghendaki kejayaan Tanah Airnya,” ungkap Sagimun M.D. dalam buku Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi (1988).
Siasat devide et impera terus jadi tumpuan Belanda. Bahkan, ketika VOC bangkrut, kemudian digantikan oleh pemerintah kolonial belanda. Berkali-kali Belanda memainkan siasat yang sama. Agak mustahil memang, Tapi, devide et impera acap kali berhasil.
Perlahan-lahan banyak di antara wilayah Nusantara mulai ditaklukkan. Penaklukan itu membuat Belanda makin berkuasa. Alhasil, pemerintah Hindia-Belanda mulai menarik manfaat dari wilayah jajahan. Makassar, salah satunya. Belanda pun mulai menerapkan Makassar sebagai pelabuhan wajib pajak pada 27 Juni 1906. Aturan itu dibuat untuk menggemukan pendapatan Belanda di tanah jajahan.
“Setelah kerajaan-kerajaan pribumi ditaklukkan, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan surat keputusan tertanggal 27 Juni 1906, yang isinya menyatakan bahwa mulai 1 Agustus 1906 Makassar berubah menjadi pelabuhan wajib pajak menyusul kemudian pelabuhn kerajaan-kerajaan taklukan yang lain.”
BACA JUGA:
“Terhadap Balanipa, Majene, Pambuang. Tapalang, Cenrana, Mamuju, Sumbawa, Bima, Sanggar, dan Dompu bahkan diadakan ‘perjanjian tambahan’ (supplementair) tentang hak pemerintah untuk memungut pajak impor dan ekspor, cukai. pajak jangkar, pajak pelabuhan, dan pajak lainnya yang menyangkul pelayaran, serta hak pemerintah untuk mengawasi pelabuhan,” tutup Edward Lamberthus Poelinggomang dalam buku Makassar XIX (2016).
Penetapan Makassar sebagai pelabuhan wajib pajak oleh Pemerintah Hindia Belanda menjadi bagian dari sejarah hari ini, 27 Juni 1906 di Nusantara.