JAKARTA - Pada 14 Juli 1945, sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) berlangsung. Dalam sidang tersebut, usulan soal pajak untuk pertama kalinya disebutkan dan termasuk dalam perundang-undangan (UU).
Saat itu Ketua BPUPKI Radjiman Wediodiningrat mengatakan harus ada aturan hukum soal pungutan pajak. Menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasar UU.
Sederhananya, pajak adalah pungutan wajib dari rakyat untuk negara. Pajak tersebut digunakan untuk berbagai pengeluaran negara, termasuk membiayai pembangunan hingga membayar gaji pegawai negeri. Sejak disebutkan pada 14 Juli 1945, urusan pajak lalu masuk dalam UUD 1945.
Urusan pajak lalu dibahas secara khusus pada 16 Juli 1945. Pajak dirinci sebagai sumber penerimaan utama negara dan menjadi isu utama sidang. Penyebutan pajak untuk pertama kalinya terjadi pada 14 Juli 1945 dan menjadi cikal bakal Hari Pajak Nasional.
Hari Pajak Nasional ditetapkan melalui melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-313/PJ/2017 pada 22 Desember 2017. Hari Pajak Nasional ditetapkan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat Indonesia untuk membayar pajak.
Pajak dari era kerajaan hingga kolonial
Pajak, sebagai salah satu sumber pendapatan negara memiliki peran penting dalam pembangunan. Jauh sebelum pemerintahan Soekarno, pungutan uang dari rakyat sudah diberlakukan atas nama kepentingan semua pihak.
Melansir buku Materi Terbuka Kesadaran Pajak untuk Perguruan Tinggi oleh Direktorat Jenderal Pajak, dijelaskan bahwa sejarah pajak di Indonesia terbagi dalam lima era. Dimulai dari era kerajaan, era kolonial, era kemerdekaan, era Orde Baru, hingga masa Reformasi.
Era kerajaan
Saat itu bukan hanya negara yang memungut pajak dari rakyat, tetapi juga lembaga agama. Rakyat pun merasa pajak adalah kewajiban yang dipaksakan.
Banyak resistensi. Apalagi pajak dipungut dan digunakan secara sewenang-wenang. Penentangan dilakukan dalam berbagai bentuk gerakan protes atau perlawanan fisik.
Pajak tersebut memiliki manfaat langsung dan tidak langsung, yaitu perlindungan keamanan, membiayai bangunan-bangunan suci keagamaan, hingga membiayai yatim piatu dan berbagai badan sosial.
Era kolonial
Sistem perpajakan dirancang saat kolonial Inggris masuk ke Indonesia pada 1811-1816. Saat itu Sir Thomas Stanford Raffles adalah penguasa bangsa Eropa pertama yang merancang sistem perpajakan. Sistem perpajakan Raffles dikenal dengan landrent atau pajak tanah.
Pungutan pajak tanah dibebankan ke desa. Bukan individu. Tidak hanya dengan uang. Pajak tanah juga bisa dibayarkan dengan barang. Kolonial Inggris berakhir, berlakulah sistem perpajakan kolonial Hindia Belanda.
Terdapat perbedaan antara sistem pemungutan pajak tanah oleh pemerintah kolonial Inggris dan pemerintah kolonial Belanda. Kolonial Belanda memberikan kedudukan kepada para bupati sebagai pemungut pajak yang bertanggung jawab terhadap pungutan atas pajak tanah kepada rakyat.
Para penduduk China, Barat, dan pedagang dari golongan lain pun dikenakan pajak. Selain itu penduduk kota dikenakan pajak usaha, pajak pintu (rumah), pajak kepala, dan lain-lain.
Era kemerdekaan-Orde Lama
Di era kemerdekaan dan memasuki era pemerintahan Orde Lama, kebijakan pajak dari pemerintah belum banyak dilakukan. Hal tersebut dikarenakan kondisi pemerintahan yang belum stabil.
Warisan sistem pemungutan pajak di era penjajahan Belanda masih digunakan. Namun banyak pihak yang mengatakan warisan kolonial ini mengakibatkan tidak terpenuhinya rasa keadilan dalam penerapan pajak.
Pemerintah Presiden Soekarno lalu membentuk Panitia Peninjauan Pajak pada 1951. Kepanitiaan ini bertugas mempelajari banyaknya jenis pajak yang ditangani oleh Jawatan Pajak.
Panitia Peninjau Pajak lalu terbagi jadi empat subpanitia: Panitia Indirekte Belasting, Panitia Direkte Belasting, Panitia Pajak Umum, dan Panitia Pajak Daerah. Selanjutnya, pada awal 1965, Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1965 yang berisi pengampunan pajak.
Era Orde Baru
Pada era pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto membuat susunan ulang organisasi pajak. Susunan itu dituangkan dalam Keputusan Presidium Kabinet Ampera Republik Indonesia tanggal 3 November 1966,
Susunan organisasi Direktorat Jenderal Pajak terdiri dari Direktur Jenderal, Sekretaris Direktorat Jenderal, Direktorat Pajak Langsung, Direktorat Pajak Tidak Langsung, Direktorat Perencanaan dan Pengusutan serta Direktorat Pembinaan. Beberapa UU terkait pajak juga dicabut dan diganti UU baru.
Era reformasi
Di masa reformasi, tepatnya masa pemerintahan transisi dari Presiden Soeharto ke B.J Habibie, kebijakan terkait perpajakan belum banyak berubah.
Perubahan kebijakan mulai dilakukan pada tahun 2000. Beberapa perubahan dilakukan atas perundang-undangan perpajakan.
UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pemerintah Daerah merupakan titik tolak perkembangan pajak dan pungutan lain yang dilakukan pemerintah daerah. Dalam peraturan tersebut, muncul istilah pajak daerah dan retribusi daerah.
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.