Bagikan:

JAKARTA - Pada 22 Juli 1960, diputuskan bahwa Kejaksaan menjadi lembaga mandiri. Keputusan dituangkan dalam Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia (RI) tertanggal 1 Agustus 1960 Nomor 204/1960 dan berlaku 22 Juli 1960. Tanggal tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Kejaksaan RI atau juga dikenal sebagai Hari Bhakti Adhyaksa.

Seiring waktu banyak perubahan dilakukan dalam susunan organisasi dan tata laksana Kejaksaan. Mengutip situs web resmi Kominfo, perubahan pertama terjadi di awal era 90-an, dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 jadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991.

Memasuki era reformasi, UU 5/1991 diperbarui jadi UU 16/2004. Perubahan tersebut disambut baik karena dianggap sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan independen.

Pasal 2 ayat (1) UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI menekankan bahwa Kejaksaan RI merupakan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.

Istilah Kejaksaan

Ilustrasi foto (Twitter/@kejaksaanri)

Mengutip situs web resmi Kejaksaan RI, istilah Kejaksaan sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman Kerajaan Hindu di Jawa Timur, tepatnya di masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan.

Istilah-istilah ini berasal dari kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta. Peneliti asal Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya ketika Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa.

Dhyaksa adalah hakim yang bertugas menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para dhyaksa dipimpin seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi.

Selain memimpin, adhyaksa juga mengawasi tugas para dhyaksa. Hasil penelitian dari peneliti lainnya, yaitu H.H. Juynboll juga mendukung hal tersebut.

Penelitian menunjukkan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van Vollenhoven, yang juga peneliti asal Belanda, menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada bahkan juga seorang adhyaksa.

Pada masa pendudukan Belanda, badan yang berhubungan dengan jaksa dan kejaksaan adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini memiliki orang-orang yang berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi ) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung ) dibawah perintah langsung dari Residen/Asisten Residen.

Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan oleh UU pemerintah zaman pendudukan Jepang Nomor 1/1942. Aturan itu kemudian diganti oleh Osamu Seirei Nomor 3/1942, Nomor 2/1944 dan Nomor 49/1944.

Kejaksaan ada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (pengadilan agung), Koootooo Hooin (pengadilan tinggi) dan Tihooo Hooin (pengadilan negeri). Pada masa itu secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran, menuntut perkara, menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal, dan mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.

Kasus yang mencoreng kejaksaan

Berdasar sejarah dan perkembangannya, Kejaksaan RI hadir untuk menegakkan hukum dan memberikan hukuman bagi mereka yang terbukti bersalah. Namun nyatanya akhir-akhir ini tindakan tersebut tidak tercermin pada Kejaksaan RI.

Masyarakat tidak akan pernah lupa kasus eks jaksa Pinangki Sirna Malasari, yang terlibat dalam kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang. Seperti dikutip dari artikel AKTUAL berjudul Kasasi Vonis Pinangki, Kejagung Dinilai Gagalkan Komitmen Pemberantasan Korupsi, Pinangki sebelumnya mendapat ancaman hukuman penjara 10 tahun namun dikorting menjadi empat tahun penjara.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda sebesar Rp600 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan," demikian disebutkan dalam laman putusan Mahkamah Agung.

Eks Jaksa Pinangki (Sumber: Antara)

Kasus Pinangki tidak main-main. Ia terbukti melakukan tiga perbuatan pidana. Pertama ia terbukti menerima suap sebesar 500 ribu dolar AS dari terpidana kasus "cessie" Bank Bali Djoko Tjandra.

Kedua, melakukan pencucian uang senilai 375.279 dolar AS atau setara Rp5.253.905.036. Ketiga, melakukan permufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya, Anita Kolopaking, dan Djoko Tjandra untuk menjanjikan sesuatu berupa uang sejumlah 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejagung dan MA untuk menggagalkan eksekusi Djoko Tjandra yang tertuang dalam "action plan."

Namun, Kejaksaan Agung justru memutuskan tidak mengajukan kasasi atas vonis ringan Pinangki. Keputusan itu seperti menunjukkan pihak Kejaksaan yang melindungi eks jaksa tersebut. Kejaksaan Agung, yang diharapkan paling adil dalam penegakan hukum, justru tidak murni lagi dalam pengambilan keputusan hukum.

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Didi Kurniawan dan Putri Ainur Islam.

SEJARAH HARI INI Lainnya