Muasal PDIP Dijuluki Partainya Wong Cilik
Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri saat berpidato dengan latar belakang lukisan sang ayah, Soekarno, pencetus Marhaenisme yang menjadi paham pembelaan terhadap wong cilik atau rakyat jelata. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Soekarno pernah hidup tak berjarak dengan kemiskinan. Ia acap kali mengamati dan merasakan kemiskinan. Dari kecil hingga dewasa. Kemiskinan jadi bahan bakarnya berjuang melawan penjajah. Ideologi marhaenisme pun dicetuskannya. Paham itu turun-menurun dianut trah Soekarno. Anak keduanya, Megawati bahkan memoles marhaenisme sebagai alat berjuang partainya: PDI Perjuangan atau PDIP. Karenanya, partai berlambang banteng moncong putih dikenal berjuluk partainya wong cilik.

Soekarno adalah sosok yang tak pernah jauh dari kemiskinan. Ia dibesarkan oleh kedua orang tuanya di tengah kemiskinan. Saban hari, ia melihat kaum bumiputra bergelut dengan kemiskinan. Dari petani hingga tukang kayu. Sedang orang Belanda yang notabene pendatang di negerinya bisa hidup kaya-raya. Bermandikan harta.

Ia pun menjadi saksi bahwa kemiskinan telah menjadi muara dari segala kesedihan. Bahkan kematian. Sederet kejadian itu membuat kepekaan Bung Karno terasa. Bung Karno lalu aktif mengcari cara untuk dapat mengubah nasib kaumnya.

Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri saat dilantik menjadi Presiden RI pada 23 Juli 2001. (Wikimedia Commons)

Sebagai ajian, Bung Karno kerap mengamati keadaan kaumnya. Kebiasaan melakukan pengamatan pun berlanjut hingga Soekarno berkuliah di Bandung. Di waktu senggang, ia memilih untuk keliling naik sepeda. Aktivitas itu mempertemukan Bung Karno dengan segala lapisan profesi. Petani salah satunya. Perjumpaannya dengan rakyat kecil membuahkan curhatan-curhatan terkait pedihnya dijajah Belanda.

Puncaknya, Soekarno berjumpa dengan seseorang petani gurem bernama Marhaen. Perjumpaannya itu jadi momentum penting dari kemunculan paham Marhaenisme. Sebuah paham yang kemudian dijadikan alat untuk membela nasib petani kecil, buruh pabrik, dan siapapun yang tak memiliki sarana produksi.

“Di saat itu sinar ilham menggenangi otakku. Aku akan memakai nama itu untuk rnenamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti itu! Semenjak itu kunamakan rakyatku rakyat Marhaen. Selanjutnya di hari itu aku mendayung sepeda berkeliling mengolah pengertianku yang baru. Aku memperlancarnya. Aku mempersiapkan kata‐kataku dengan hati‐hati. Dan malamnya aku memberikan indoktrinasi mengenai hal itu kepada kumpulan pemudaku. Petani‐petani kita mengusahakan bidang tanah yang sangat kecil sekali.”

Megawati Soekarnoputri bersama sang ayah, Soekarno. (Wikimedia Commons)

“Mereka adalah korban dari sistem feodal, dimana pada mulanya petani pertama diperas oleh bangsawan yang pertama dan seterusnya sampai ke anak cucunya selama berabad‐abad. Rakyat yang bukan petani pun menjadi korban daripada imperialisme perdagangan Belanda, karena nenek moyangnya telah dipaksa untuk hanya bergerak di bidang usaha yang kecil sekedar bisa memperpanjang hidupnya. Rakyat yang menjadi korban ini, yang meliputi hampir seluruh penduduk Indonesia, adalah Marhaen,” ungkap Soekarno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).

Perlawanan Terhadap Orde Baru

Kepekaan Soekarno terhadap nasib kaumnya mampu membuat Indonesia merdeka. Kemerdekaan Indonesia itu lalu melanggengkan Marhaenisme dikenal luas. Bahkan, ketika Soekarno telah tiada, Marhaenisme itu tetap kesohor.

Marhaenisme pun diwariskan turun-temurun oleh trah Soekarno. Anaknya yang kedua, Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri pun mengamalkan Marhaenisme. Utamanya untuk melawan ketidakadilan. Wanita yang akrab disapa Megawati menjadikan Marhaenisme sebagai senjata melawan Orde Baru (Orba) yang represif.

Marhaenisme digunakannya sebagai jubah kendaraan politiknya, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), kemudian Partai Demokarasi Indonesia Perjuangan, disingkat PDIP, jadi alatnya. Karenanya, Megawati jadi simbol sosok pemimpin yang berani berdiri bersama rakyat melawan Orba. Sekalipun, ia terkena imbasnya diperlakukan tidak adil oleh penguasa sejak aktif dalam politik pada 1987.

Seorang pengayuh becak melewati poster Megawati Soekarnoputri dan Soekarno saat Kongres V PDIP di Denpasar, Bali pada 8-11 Agustus 2019. (Antara/Nyoman Hendra Wibowo) 

Keberanian Megawati masuk ke politik membuat Orba berang. Lagi pula Orba tengah mereduksi peran dan pengaruh Soekarno dalam sejarah bangsa. Alhasil, partainya, PDIP jadi simbol perlawanan kaum tertindas.

Kiprah itu buat wong cilik yang notabene rakyat kecil bersimpati kepadanya. Pun perlahan-lahan orang-orang pun mulai menjuluki PDIP di bawah Megawati sebagai partainya wong cilik.

“Ahli Politik, Cornelis Lay menerjemahkan ideologi marhaenisme milik Bung Karno bagi PDIP. Ketika partai dan pejabat pada umumnya menempatkan diri sebagai sinterklas yang siap menebarkan material dan proyek untuk membantu wong cilik, dan masih memberlakukan politik dinasti dan hegemoni elite, PDI-P justru memunculkan aksi politik di mana orang kecil pun diusulkan jadi pengelola negara/ jadi caleg/cabup/cawabup /cawal/cawawal/dll.”

“Akhirnya orang-orang kecil bisa jadi pejabat publik lewat PDIP, misalnya Jokowi. Ada pedagang bisa jadi DPR, ada tukang parkir bisa jadi kepala daerah, dll. Itu tradisi baru yang dimulai PDIP. Tradisi itu pun ditiru semua parpol. Akhirnya wajah (dinasti) yang mengandalkan nama orang tua dan keturunannya jadi tumbang di TPS. Nama-nama baru dari orang kecil justru bermunculan jadi pejabat publik,” ungkap Anthony Tonggo dalam buku Tokoh-Tokoh Inspiratif Dari NTT (2021).