Bagikan:

JAKARTA - Memori hari ini, 15 tahun yang lalu, 24 Mei 2009, pasangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto mendeklarasikan duet mereka di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Pemilihan tempat itu sengaja dipilih keduanya sebagai merakyat.

Sebelumnya, Megawati dielukan pembela rakyat kecil. Keyakinan itu didasari oleh kepekaannya yang kerap memihak kepada rakyat kecil. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pun kecipratan citra sebagai partainya wong cilik.

Perjuangan Soekarno melepas belenggu penjajahan tak terlepas dari keberpihakannya kepada rakyat kecil. Ia rela dipenjara dan diasingkan demi membela rakyat kecil. Semangat itu yang kemudian diadopsi oleh anaknya, Megawati Soekarnoputri.

Megawati kerap berpihak kepada rakyat kecil. PDIP pun dibawanya untuk peduli. Ia tak ingin orang kecil hanya diperalat pemilik modal. Wong cilik harus berdaya. Itulah yang membuat nama Megawati dielu-elukan segenap rakyat Indonesia pada era Orde Baru (Orba).

Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto (Antara)

Megawati muncul bak simbol perlawanan rakyat terhadap represifnya Orba. Rakyat kecil mendukung Megawati, begitu pula sebaliknya. Bahkan, berkat dukungan rakyat, Megawati kemudian dapat mencicipi kuasa sebagai Presiden Indonesia.

Alhasil, PDIP kecipratan berkah. Partai yang sempat digembosi oleh Orba itu dikenang sebagai partainya rakyat kecil. Semuanya terbukti dari kebanyakan calon-calon pejabat yang diorbit PDIP berasal dari kalangan rakyat kecil. Bukan cuma didominasi oleh keluarga kaum bermodal atau titipan asing.

“Ahli Politik, Cornelis Lay menerjemahkan ideologi marhaenisme milik Bung Karno bagi PDIP. Ketika partai dan pejabat pada umumnya menempatkan diri sebagai sinterklas yang siap menebarkan material dan proyek untuk membantu wong cilik, dan masih memberlakukan politik dinasti dan hegemoni elite, PDI-P justru memunculkan aksi politik di mana orang kecil pun diusulkan jadi pengelola negara/ jadi caleg/cabup/cawabup /cawal/cawawal/dll.”

“Akhirnya orang-orang kecil bisa jadi pejabat publik lewat PDIP, misalnya Jokowi. Ada pedagang bisa jadi DPR, ada tukang parkir bisa jadi kepala daerah, dll. Itu tradisi baru yang dimulai PDIP. Tradisi itu pun ditiru semua parpol. Akhirnya wajah (dinasti) yang mengandalkan nama orang tua dan keturunannya jadi tumbang di TPS. Nama-nama baru dari orang kecil justru bermunculan jadi pejabat publik,” ungkap Anthony Tonggo dalam buku Tokoh-Tokoh Inspiratif Dari NTT (2021).

Citra Megawati sebagai pembela wong cilik tak lantas luntur ketika ia tak lagi menjabat sebagai orang nomor satu Indonesia. Keberpihakannya kepada rakyat kecil pun tetap sama. Megawati pun menunjukkan hal itu kala dirinya berambisi kembali mencalonkan diri sebagai Presiden Indonesia pada Pilpres 2009.

Prabowo Subianto saat bertamu ke kediaman Megawati Soekarnoputri di Jl. Teuku Umar, Jakarta Pusat pada Rabu 24 Juli 2019. (Antara/Puspa Perwitasari)

Ambisi itu diperlihatkannya dengan menggandeng Prabowo Subianto sebagai pasangannya. Keduanya kemudian memilih TPST Bantar Gebang sebagai pusat acara deklarasi pada 24 Mei 2009. Pemilihan Bantar Gebang tampaknya disengaja sebagai bentuk simbol Megawati tak pernah melupakan rakyat kecil.

“Minggu, 24 Mei 2008 Megawati dan Prabowo mendeklarasikan duet calon presiden dan calon wakil presiden dalam suatu upacara cukup meriah di tempat pembuangan sampah terpadu Bantar Gebang, Kota Bekasi. Sebuah simbol ‘kere’ suatu simbol bahwa kedua pemimpin ini siap berjuang untuk menaikkan harkat dan martabat orang-orang miskin yang selama ini tertindas oleh kekuatan asing dan konglomerat,” terang Tjipta Lesmana dalam buku Bola Politik dan Politik Bola (2013).