JAKARTA – Sejarah hari ini, 78 tahun yang lalu, 3 April 1944, Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) dibentuk oleh Belanda di Australia. Pembentukan itu diupaya untuk mengembalikan pemerintah sipil dan hukum pemerintahan Hindia-Belanda dari cengkraman Jepang. Belanda masih merasa Indonesia sebagai wilayahnya. Narasi itu makin bergulir saat Jepang menyerah kepada sekutu. NICA pun menjalankan aksinya menggempur Indonesia. Segenap rakyat Indonesia mengenalnya dengan zaman revolusi.
Pendaratan Jepang di Indonesia membuat Belanda kelabakan pada 1942. Wajar jika nyali Belanda ciut, Jepang memiliki armada dan persenjataan yang lebih lengkap. Memaksa mengelorakan perang terus menerus jadi opsi yang mustahil bagi Belanda.
Pun satu-satunya opsi yang masuk akal bagi mereka adalah bertahan dan menunggu bantuan dari negara sekutu. Namun, kedatangan pasukan bantuan itu tak mudah. Jepang masih terlalu kuat. Belanda pun bersiasat. Empunya kekuasaan itu segera memindahkan pusat kekuasaannya dari Batavia menuju Bandung.
Opsi itu justru membawa petaka. Jepang yang terus-menerus menggempur Belanda. Gubernur Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer memilih menyerah. Sedang Letnan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Hubertus Johannes van Mook melarikan diri ke Australia.
Di Negeri Kanguru, ia tak tinggal diam. Belanda pun membekalinya dengan membentuk NICA. Awalnya NICA dibentuk untuk menghubungkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di pengasingan dengan Komando Tertinggi Sekutu di Wilayah Pasifik Barat Daya (SWPA/South West Pacific Area). Kemudian, NICA menjelma sebagai kekuatan yang ingin merebut Indonesia kali kedua.
“Setelah Perang Dunja II pemerintah kolonial Hindia Belanda berkuasa penuh kembali di wilayah bekas jajahannya, kecuali daerah yang dikuasai Republik Indonesia dengan ibu kota Yogyakarta. Pemerintah Hindia Belanda disebut Nederlands-Indische Civil Administration (NICA) dibentuk di Australia setelah Hindia Belanda diduduki tentara Jepang (1942- 1945), dipimpin oleh Letnan Gubernur Jenderal H.J. van Mook,” ungkap Sukono dalam buku Dan toch maar! (2009).
NICA pun semakin eksis ketika Jepang menyerah kepada sekutu. Hasrat Belanda untuk berkuasa kembali semakin menggebu. Adapun Proklamasi Kemerdekaan Indoensia dianggap sepi saja oleh mereka. Proklamasi kemerdekaan diyakini sebagai jalan Belanda untuk kembali menjajah Nusantara. NICA pun memainkan aksi teror.
Pendaratan pasukan dengan panji Netherland Indies Civil Administration (NICA) ke Jakarta jadi ajiannya tak berapa lama dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pengiriman pasukan itu dilakukan secara masif. Kedatangan pasukan NICA turut pula membonceng tentara sekutu, Inggris. Tindakan Belanda laksana bukti mereka memiliki keinginan untuk menggulingkan dan mengembalikan Indonesia ke status negara jajahan.
“Provokasi oleh pasukan Belanda: pendaratan mereka tanpa henti di bawah perlindungan Inggris; maupun pernyataan-pernyataan yang kurang tegas oleh Inggris, memperlihatkan kepada banyak orang Indonesia bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia sedang ditantang dan reaksi tajam mereka sedang dipancing. Jibakutai (pasukan bunuh diri Jepang) tidak dapat ditahan lagi. Unit-unitnya dibagi-bagi lagi menjadi kelompok tempur berskala lebih kecil.”
“Diikuti oleh berbagai untuk pemuda bersenjata, mereka mengadakan serangan keras terhadap patroli Belanda dan Inggris. Dalam beberapa kasus, umumnya ketika Barisan Pelopor terlibat, sasaran dari serangan keras itu tidak lagi terbatas kepada pasukan asing, tetapi meluas hingga kepada tahanan sipil Belanda, termasuk perempuan dan anak-anak. Secara bersamaan, semua unit orang Indonesia bersenjata meningkatkan usaha mereka untuk merebut senjata dan kekuasaan dari Jepang,” ungkap George McTurnan Kahin dalam buku Nasionalisme & Revolusi Indonesia (2013).
Itulah catatan peristiwa sejarah hari ini, 3 April 1944 di Indonesia.