JAKARTA - Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) adalah periode paling menyakitkan dalam sejarah bangsa. Kaum bumiputra jelata diperas bak sapi perah. Mereka dikuras tenaganya. Demikian pula hartanya. Keuntungannya pun diambil oleh Belanda. Namun, Belanda tak bekerja sendiri. Elite bumiputra turut dilibatkan untuk menyukseskan tanam paksa. Kepala desa, salah satunya. Mereka ikut andil memeras keringat rakyat. Ajian itu berhasil. Sebab, tanpa perannya, tanam paksa tak ubahnya proyek gagal.
Bumi Nusantara memiliki potensi kekayaan alam yang tiada dua. Belanda pun sedari dulu meliriknya. Apalagi komoditas rempah-rempahnya memiliki harga tinggi di pasaran dunia. Tapi itu dulu, saat maskapai dagang Belanda, VOC masih eksis. Kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda justru berbeda dari pendahulunya.
Empunya kuasa justru melihat Nusantara sebagai kebun subur yang siap ditanami komoditas ekspor. Pandangan itu yang kemudian mengilhami Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830-1833) menggelorakan siasat fiskalnya pada 1830. Sistem Tanam Paksa, namanya. Di atas kertas, pemimpin Hindia-Belanda itu menyebut Cultuurstelsel akan membawa kesejahteraan bagi kaum bumiputra.
Realitanya, alih-alih men kesejahteraan, kaum bumiputra justru diperdaya. Pajak tanah memang dihapus oleh Belanda, tapi sebagai gantinya kaum bumiputra dipaksa menanam komoditas ekspor. Antara lain, tebu, kopi, cengkeh, kayu manis, kehutanan, rami, nila, ternak, nopal, cochineal, lada, beras, sutera, gula, teh dan tembakau.
Sesuai prediksi, hasil Sistem Tanam Paksa begitu gemilang. Belanda bak ketiban durian runtuh. Keuntungan sistem tanam paksa dapat menyulap Belanda menjadi negara kaya raya. Utang-utang Belanda jadi lunas. Pun keuntungan lainnya dapat membantu Belanda mengembangkan negaranya. Belanda membangun banyak hal. Dari jalanan untuk kereta api, pelabuhan, dan pusat industri.
“Pendapatan tersebut telah membuat perekonomian Belanda lebih stabil dan semua utang dapat dilunasi, pajak-pajak diturunkan, berbagai kubu pertahanan dibangun. Demikian juga berbagai kanal dan jalan kereta api negara dibangun di seluruh negeri Belanda. Semuanya itu dilakukan dengan menggunakan keuntungan yang diperoleh dari hasil pemerasan keringat para petani Jawa.”
“Bagi pemerintah Hindia Belanda sudah tentu cuulturstelsel sangat menguntungkan, bukan saja dari segi keuangan tapi juga dari segi stabilitas politik. Para pembesar dan elit keraton yang disebut kaum pnyayi juga sangat diuntungkan, sehingga mereka sekarang benar-benar telah tunduk kepada pihak Belanda dan hampir tidak pernah ada lagi pemberontakan yang cukup besar yang timbul pada masa masa tersebut,” tulis Benny G. Setiono dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008).
Peran Kepala Desa
Kesuksesaan Belanda menjalankan tanam paksa tak terlepas dari ajian mereka mengajak elite bumiputra untuk berkolaborasi. Pejabat bumiputra (kaum priayi) sengaja dilibatkan untuk mengunci keberhasil tanah paksa. Keterlibatan kepala desa jadi salah satu kuncinya.
Peran kepala desa begitu vital. Ia jadi tumpuan utama intervensi Belanda ke masyarakat jelata. Penunjukan itu berhasil. Kepala desa dapat berperan penuh untuk menjaga supaya petani menjalankan kewajibannya memanam tanamannya ekspor, sesuai pesanan Belanda.
Pendapatan kepala desa pun tak main-main. Bahkan, pendapatan itu buat kepala desa dapat memiliki istri lebih dari satu. Sebab, pendapatan itu hadir dari pendapatan atas tanah dan uang bulanan karena telah mengabdi kepada Belanda.
“Namun, peningkatan hasil tanaman ekspor tidak disertai oleh peningkatan kesejahteraan rakyat Hindia-Belanda. Tujuan baik dari Cultuurstelsel yang ingin merubah orientasi ekonomi masyarakat pra-kapitalisme (dari pemenuhan kebutuhan sendiri) menjadi berorientasi pasar dengan cara menggunakan alat-alat canggih serta manejemen produksi sama sekali tidak tercapai.”
“Perubahan orientasi ekonomi hanya dirasakan oleh para bupati dan kepala desa. Peran bupati dan kepala desa dalam struktur Cultuurstelsel telah merubah orientasi ekonomi mereka menjadi kapitalis dengan mengorbankan rakyatnya sendiri sebagai sapi perahan,” ungkap Cecep Lukmanul Hakim dalam buku Politik Pintu Terbuka (2018).
Selain itu, adapula pendapatan lainnya yang diterima oleh sekelas kepala desa. Mereka akan mendapatkan bonus ketika panen melimpah. Pemerintah kolonial Belanda pun menyebutnya dengan nama cultuurprocenten.
Kehadiran bonus itu buat para kepala desa gelap mata. Mereka tak lagi mempedulikan nasib rakyatnya. Satu-satunya yang dipikirkan oleh mereka adalah keuntungan semata. Fakta itu menjadi bukti bahwa yang dulu dihadapi oleh kaum bumiputra bukan cuma penjajahan Belanda semata, tapi juga keserakahan elite lokal yang tak bertanggung jawab.
“Dan gaji para Bestuurs Beambten (BB) --pegawai berkebangsaan Belanda-- memang tinggi. Seorang residen, misalnya, mendapatkan 15 ribu gulden setahun di samping ongkos representasi (resepsi/pesta) dan lain-lain. Malah sampai 1860 para BB juga mendapatkan cultuurprocenten, yakni uang tambahan sesuai dengan naiknya penghasilan perkebunan sistem tanam paksa (1830-1870) di daerah mereka.”
“Cultuurprocenten bagi BB dihapuskan pada tahun 1860, karena pejabat negara modern dipandang tidak patut melaksanakan tugas hanya demi mengejar uang tambahan. Bagi pangreh praja (pegawai pribumi), dari bupati sampai kepala desa, cultuurprocenten ini dipertahankan sampai dihapusnya sistem tanam paksa,” tutup Sejarawan Ong Hok Ham dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018).