Sejarah Peradilan di Indonesia dari Masa Penjajahan Belanda Sampai Sekarang
Ilustrasi (Gambar Tingey Injury Law Firm - Unsplash)

Bagikan:

YOGYAKARTA – Sistem peradilan di Indonesia sudah sangat lama dimulai, bahkan sebelum negara ini merdeka. Sistem peradilan dibuat untuk menjaga keseimbangan tatanan baik sosial, budaya, dan aspek lainnya di tengah masyarakat. Lantas. Bagaimana sejarah peradilan di Indonesia?

Sejarah Peradilan di Indonesia

Dalam buku Peradilan di Indonesia karya Tuti Harwati, sejarah peradilan di Indonesia dibagi menjadi tiga masa, yakni masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan masa kemerdekaan Indonesia. Berikut penjelasan selengkapnya.

1. Sejarah peradilan Indonesia pada masa penjajahan Belanda

Pada masa penjajahan Belanda, penduduk Indonesia dibagi menjadi tiga golongan, yakni golongan Eropa, golongan Bumiputra, dan golongan China. Pembagian ini didasarkan pada Pasal 131 dan 161 Indische Staatsregeling (IS).

Dalam beleid tersebut, golongan Eropa dan mereka yang disamakan berlaku hukum negeri Belanda yang juga disebut hukum barat. Sementara golongan Bumipetera berlaku hukum adatnya masing-masing. Terhadap golongan Bumipetra juga berlaku hukum Barat bila ada kepentingan umum dan kepentingan sosial yang dibutuhkan.

Untuk golongan Cina dan Timur Asing, mereka mengikuti hukum Barat dengan beberapa pengecualiaan. Perbedaan perlakuan hukum antara golongan Barat, Bumiputra, dan China turut memunculkan perbedaan dalam badan peradilan beserta hukum acaranya.

Peradilan untuk Golongan Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Raad van Justitie dan Residetie-gerecht.

Untuk golongan Bumiputra dan mereka yang disamaka dengan golongan tersebut, diberlukukan Landraad sebagai sistem peradilan sehari-hari dan beberapa pilihan lainnya seperti peradilan kabupaten, peradilan distrik negara dan sebagainya.

Hukum acara yang digunakan termaktub dalam Herziene Inlandscab Reglement (HIR). Sementara untuk daerah di luar Pulau Jawa dan Madura diatur menjadi satu dengan Recbtsgelement Buitengewesen atau Rbg.

Tata peradilan pada zaman penjajahan Belanda diatur sebagai berikut:

  • Untuk Pulau Jawa dan Madura berlaku Peraturan Organisasi Peradilan dan Kebijaksanaan Kehakiman di Hindia Belanda (Regelement op de Rechterlijke Organisatie en bet Beleid der Justitie (R.O).
  • Untuk luar Pulau Jawa dan Madura berlaku Peraturan Peradilan dengan Seberang laut (Rechtsreglemen, Buitengewesten/Rbg).

2. Sejarah Peradilan Indonesia pada Masa Penjajahan Jepang

Ketika Jepang menjajah Indonesia pada 1942, dualisme dalam tata peradilan dihapus, sehingga badan-badan diperuntukkan untuk semua golongan.

Hukum acaranya tetap mengacu pada HIR dan RBg, hal ini sesuai dengan peraturan Osamu Sirei (UU Bala Tentara Jepang) Nomor 22 Tahun 1942.

Dalam Pasal 3 UU tersebut disebutkan bahwa segala badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum, dan undang-undang pemerintah yang dahulu tetap diakui sah bagi sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka badan-badan peradilan yang dipertahankan antara lain:

  • Hooggerechtshof sebagai pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung), dengan nama yang diganti menjadi Saikoo Hooin.
  • Raad van Justite (Pengadilan Tinggi), yang berubah nama menjadi Kooto Hooin.
  • Landraad (Pengadilan Negeri), yang berubah nama menjadi Tihoo Hooin.
  • Landgerecht (Pengadilan Kepolisian), yang berubah nama menjadi Keizai Hooin.
  • Regentschapsgerecht (Pengadilan Kabupaten), yang berubah nama menjadi Ken Hooin.
  • Districtsgerecht (Pengadilan Kewedanaan), yang berubah nama menjadi Gun Hooi.

3. Sejarah Peradilan Indonesia pada masa Kemerdekaan - sekarang

Setelah Indonesia meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, belum terlihat adanya perubahan terhadap lembaga pengadilan.

Dalam Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, susunan pengadilan masih mengacu Undang-Undang Nomor 34 tahun 1942.

Perubahan mulai terjadi setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948. UU ini dimaksudkan untuk melaksanakan Pasal 24 UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman, sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1947 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.

Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 disebutkan bahwa di Negara RI dikenal adanya tiga lingkup peradilan, yakni:

  • Peradilan Umum
  • Peradilan Tata Usaha Pemerintahan
  • Peradilan Ketentaraan

Ketika Indonesia menjadi Negara Serikat, pengaturan lembaga peradilan di dalam Konstitusi RIS lebih luas ketimbang UUD 1945.

Untuk penjamin pelaksanaan sistem peradilan, dalam KRIS diatur syarat-syarat pengangkatan, penghentian, pemecatan, kecakapan dan kepribadian hakim.

Badan-badan peradilan yang ada seperti badan peradilan umum tetap dipertahankan, termasuk juga Peradilan Swapraja.

Konstitusi RIS juga mengatur peradilan tata usaha sekaligus peraturan pelaksanaannya.

Perubahan terhadap sistem peradilan kembali terjadi setelah Republik Indonesia berubah menjadi Negara Kesatuan. Kala itu, KRIS tidak lagi digunakan sebagai acuan dasar bernegara dan diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS).

Perubahan ini dengan sendirinya berpengaruh kepada lembaga peradilannya. Sebab, UUDS tidak lagi mengenal daerah-daerah atau negara-negara bagian, berarti pula tidak dikenal lagi pengadilan-pengadilan di daerah bagian sebagai realisasi dari UUDS.

Berikutnya, pada tahun 1951 diundangkannya UU Darurat No. 1 Tahun 1951. UU Darurat dijadikan sebagai dasar untuk menghapus beberapa pengadilan yang tidak sesuai dengan Negara Kesatuan, termasuk secara berangsur-angsur menghapuskan pengadilan tertentu dan semua pengadilan adat.

Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Negara Republik Indonesia kembali menggunakan UUD 1945 yang sampai sekarang masih berlaku, sekalipun telah mengalami amandemen.

Sejak UUD 1945 diberlakukan kembali, lembaga pengadilan telah berbeda jauh dengan lembaga pengadilan sebelumnya. Sejak itu tidak dijumpai lagi peradilan Swapraja, peradilan adat, peradilan desa, namun badan-badan peradilan telah berubah dan berkembang.

Berdasarkan Pasal 10 Undang-undang No. 14 tahun 1970 menyebutkan adanya empat lingkungan peradilan yakni:

  • Peradilan Umum
  • Peradilan Agama
  • Peradilan Militer
  • Peradilan Tata Usaha Negara

Keempat sistem peradilan ini masih digunakan sampai sekarang.

Demikian informasi tentang sejarah peradilan di Indonesia. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan para pembaca setia VOI.ID.