Bagikan:

JAKARTA - Perlakuan Belanda terhadap kaum bumiputra jauh dari kata manusiawi. Rasisme dan sentimen negatif lainnya selalu diarahkan kepada kaum bumiputra. Apalagi, mereka diperas bak sapi perah oleh Belanda. Umat Islam pun tak tinggal diam.

Ulama-ulama yang baru pulang dari tanah suci Makkah ikut mengumandangkan perlawanan. Masjid-masjid pun jadi bagian penting penyebaran politik perlawanan terhadap penjajah Belanda. Alhasil, perlawanan umat Islam terhadap penjajah muncul di mana-mana.

Masa penjajahan Belanda adalah fase terkelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Fase itu membuat kaum bumiputra merasa harga dirinya diinjak-injak. Mereka diperlakukan tak manusiawi. Derajatnya dibuat menempati strata paling rendah dalam masyarakat.

Kondisi itu membuat segenap kaum bumiputra geram bukan main. Umat Islam, apalagi. Mereka menganggap orang Belanda tak pantas menjadi pemimpin, apalagi ditakuti oleh kaum bumiputra. Narasi itu kemudian dikuatkan oleh ulama-ulama yang baru pulang dari ibadah haji dari Makkah.

Mereka tak melulu membawa ilmu agama belaka, tetapi juga membawa sebuah paham impor yang ditakuti oleh Belanda. Pan Islamisme, namanya. Pan Islamisme dikenang sebagai paham yang secara garis besar mengajak seluruh umat Islam dunia bergerak melawan kolonialisme dan imprealisme di muka bumi.

Masjib menjadi bagian penting dalam perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Belanda. (Wikimedia Commons)

Barang siapa yang melanggengkan penjajahan, niscaya akan dilawan dengan sekuat tenaga. Namun, butuh proses yang panjang untuk paham itu dapat berdiam di dalam sanubari umat Islam. Ketika paham itu mulai bersarang, pada waktu itu juga perang memutus rantai penjajahan terjadi di mana-mana.

“Gagasan Pan Islamisme, apapun itu --gagasan itu adalah hantu yang beredar di mana-mana seperti fundamentalisme Islam di zaman sekarang – tidak boleh dibiarkan menyebar ke Hindia Belanda. Keterkaitan dengan budaya barat adalah tujuan pamungkas koloni.”

“Kebudayaan Islam antitesis terhadap tujuan itu. Setiap indikasi bahwa - dalam kehidupan sehari-hari mereka, bukan agama mereka - kaum Muslimin lebih memilih cara-cara Islam atau Timur daripada cara-cara Barat yang dianggap sebagai langkah mundur dalam jalan menuju peradaban dan indikasi dari mentalitas anti-Belanda,” ungkap Kees van Dijk dalam buku Hindia Belanda dan Perang Dunia I 1914-1918 (2013).

Masjid Jadi Pusat Perjuangan

Gelora perlawanan terhadap penjajah Belanda mengemuka di mana-mana pada era 1880-an. Namun, pergerakan itu tak terjadi secara mendadak. Kaum alim ulama justru lebih dulu menjadikan masjid-masjid sebagai pusat pergerakan politik perlawanan terhadap Belanda.

Masjid-masjid itu tak melulu jadi tempat belajar agama, tapi jadi medium utama Pan Islamisme disebar ke umat Islam. Hasilnya gemilang. Letupan dari Pan Islamisme mengemuka. Sebab, segenap umat Islam telah merasakan sendiri bagaimana perlakuan tak manusiawi Belanda.

Saban hari masjid ramai, maka pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai tak tenang. Empunya kuasa kemudian kerap mengindikasikan penuhnya masjid sebagai tanda adanya gerakan fanatisme agama yang siap sedia mengumandangkan perang suci.

Geliat masjid sebagai pusat perjuangan perlawanan terhadap penjajah pun langgeng. Bahkan, dalam tiap sanubari umat Islam. Perlawanan terhadap penjajahan adalah suatu langkah yang mulia. Sebab, langkah itu adalah upaya memberikan pelajaran kepada penjajah Belanda bahwa semua manusia setara di mata yang maha kuasa.

Kedatangan ulama-ulama Indonesia dari Makkah membawa paham Pan Islamisme, yang sangat dikhawatirkan penjajah Belanda. (Wikimedia Commons)

Gebrakan yang dimulai dari masjid itu kemudian merepotkan Belanda dalam banyak hal. Pemberontakan membuat keinginan Belanda menarik keuntungan berlebih dari penjajahan menjadi terganggu. Apalagi, kala perang yang dikumandangkan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830) dan juga petani Banten pada 1888. Pun kemudian, masjid masih menjadi basis perlawanan terhadap penjajah hingga Perang Revolusi Indonesia (1945-1949) terjadi.  

“Ada hal-hal yang istimewa yang akan kita dapati bila kita mengunjungi masjid-masjid tua di Jakarta. Di samping mendapatkan siraman rohani, kita akan mendapatkan pula kisah-kisah heroik perjuangan umat Islam tempo dulu. Tentu saja bila kita máu untuk bertanya tentang peran masjid yang sudah berusia ratusan tahun itu.”

“Yang dahulu umumnya merupakan musala atau langgar. Mencontoh fungsi masjid di masa Rasulullah, diantara masjid tua ini melalui para jamaahnya, telah mengobarkan semangat perjuangan melawan penjajahan waktu itu Bahkan diantara masjid-masjid itu pernah dijadikan sebagai markas perjuangan pada masa revolusi fisik melawan Belanda,” terang Ali Shahab dalam buku Betawi: Queen of the East (2002).