Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 63 tahun yang lalu, 3 Mei 1960, Bung Hatta melemparkan kritiknya kepada Soekarno. Hatta menyebut kepemimpinan Soekarno justru banyak membawa keuntungan kepada gerak politik Partai Komunis Indonesia (PKI).

Penyataan itu diungkap Hatta di Harian Trompet Masyarakat. Sebelumnya, Soekarno dan Hatta dikenal sebagai Dwitunggal pemimpin Indonesia. Keduanya berperan penting melepas belenggu penjajahan. Namun, bukan berarti keduanya selalu berpikir satu arah. Mereka justru kerap berseberangan pendapat.

Komunisme pernah dianggap tangguh untuk melawan kolonialisme dan imperialisme di muka bumi. Di Nusantara, apalagi. Segenap pejuang kemerdekaan menganggap komunisme adalah alat perjuangan yang ampuh.

Alat perjuangan yang mampu menumbangkan geliat penjajah hingga akhirnya Indonesia merdeka. Soekarno paham benar hal itu. Bahkan, ia memiliki ketertarikan lebih dengan komunisme. Ia tak peduli kepada siapa ia harus berkawan.

Selama mereka mengedepankan komunisme dalam perjuangan dan tidak mengancam kepemimpinannya, Soekarno mendukung penuh. Itulah yang kemudian terjadi kepada hubungan Soekarno sebagai penguasa dan PKI era 1960-an.

Keduanya mampu berjalan beriringan. Pun pemimpin PKI kerap mendukung seluruh langkah politik Soekarno. Alhasil, Soekarno turut membalas jasa PKI dengan memberikan ruang politik yang luas. Kedudukan PKI pun tiada dua.

Bung Karno dan Bung Hatta sering berselisih pendapat karena mereka memiliki pandangan politik yang berseberangan. (Wikimedia Commons)

Orang-orang PKI dapat menduduki banyak jabatan strategis nan terhormat. Dari menjadi menteri hingga politus andal. Orang-orang PKI kemudian dapat berbaur dengan golongan lainnya, Islam dan nasionalis dalam pemerintahan.

“Bagi PKI dikatakan sejarawan, Taufik Abdullah, revolusi adalah jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas, sebagaimana diajarkan marxisme-leninisme. Terlepas dari latar belakang Soekarno yang ‘borjuis,’ PKI dapat melihat bahwa gagasannya sejajar dengan paham yang telah mereka anut.”

“Bukankah Soekarno berkali-kali mengatakan bahwa ia adalah penganut Marxis, meskipun bukan dalam pengertian ideologi dan flsafat, tetapi sebagai landasan teori sejarah dan sosial. Jika Manifesto Politik merumuskan makna revolusi, menunjukkan lawan dan kawan revolusi, dan sebagainya, maka USDEK berarti UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional,” ungkap Peter Kasenda dalam buku Bung Karno Panglima Revolusi (2014).

Kedekatan Soekarno dan PKI nyatanya dianggap meresahkan. Bung Hatta pun mencium gelagat itu. Ia bahkan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden Indonesia karena mulai tak sepaham dengan Bung Karno. Alih-alih banyak mendengarkan nasihat Hatta, Bung Karno diyakini hanya jadi alat PKI meraih kekuasaan.

Hatta pun kerap melemparkan kritik atas pemerintah Soekarno. Sekalipun Hatta tak lagi di pemerintahan. Termasuk kala Bung Karno membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dengan banyak mengangkat anggota PKI untuk duduk di parlemen.

Hatta melemparkan kritik itu sebagaimana pernyataannya di Harian Trompet Masyarakat pada 3 Mei 1960. Kehadiran DPR-GR dianggap Hatta terlalu menguntungkan PKI, ketimbang memberikan manfaat luas kepada segenap rakyat Indonesia.

“Harian Trompet Masyarakat pada 3 Mei 1960 menyiarkan penyataan Bung Hatta yang menyatakan demokrasi di Indonesia sedang dalam krisis, dan menilai tindakan Bung Karno membentuk DPR-GR tidak konstitusional. Mengenai lahirnya Liga Demokrasi, Hatta menyatakan sebagai tantangan terhadap DPR-GR di mana kedudukan PKI diuntungkan,” terang Alwi Shahab dalam buku Maria Van Engel: Menantu Habib Kwitang (2006).