Megawati Soekarnoputri Merenovasi Masjid Nurul Latief di Cape Town, Afrika Selatan
Kegiatan buka puasa bersama yang diadakan oleh KJRI Cape Town di Masjid Nurul Latief, 24 April 2022. (kemlu.or.id)

Bagikan:

JAKARTA - Perlawanan Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani tiada dua. Ia ikut memerangi Belanda. Sekalipun Ia harus diasingkan ke Afrika Selatan. Namun, pengasingan tak membuat semangatnya luntur.

Di sela-sela syiar agama Islam, Ia terus mengumandangkan perlawanan terhadap kolonialisme di tanah Afrika Selatan. Megawati pun kepincut dengan kepahlawanannya. Ia pun memutuskan merenovasi masjid di sekitar makam keramat Syekh Yusuf. Masjid Nurul Latief, namanya.

Pria yang akrab disapa Syekh Yusuf kerap berkelana mencari ilmu agama. Ulama asal Gowa itu banyak belajar agama Islam dari berbagai negara di dunia. Ia melanggengkan kunjungan ke Suriah, Turki, Yaman, dan Arab Saudi (Makkah hingga Madinah).

Ilmu yang didapatnya tak melulu perihal mendalami agama belaka. Ia mengenal pula paham yang bermuara pada pendalaman agama Islam yang menolak segala bentuk penjajahan di atas bumi. Pan-Islamisme, namanya. Kesamaan pehamanan itu membuatnya dekat dengan Kesultanan Banten. Ia akrab dengan Sultan Ageng Tirtayasa bak seorang sahabat.

Keduanya pun menjadikan Belanda dan Maskapai Dagangnya VOC sebagai musuh bersama. Ia turut angkat senjata ketika Belanda mengadu domba Sultan Ageng Tiryasa dan anaknya Sultan Haji pada 1651. Syekh Yusuf berada di belakang Sultan Ageng Tirtayasa.

Jemaah di Masjid Nurul Latief, Cape Town, Afrika Selatan. (kemlu.or.id) 

Syekh Yusuf membawa ribuan pejuang Bugis untuk melawan Belanda. Belanda sempat kerepotan, sekalipun ia dan pasukannya akhirnya kalah. Pengasingan pun dilakukan untuk memutus mata rantai perlawan pengikut Syekh Yusuf.

Ia diasingkan ke Sri Lanka, kemudian Afrika Selatan supaya perlawanannya berhenti. Nyatanya, nyali Syekh Yusuf di tanah pengasingan terus menyala. Ia kerap menggelorakan perlawanan terhadap kolonialisme sambil mensyiarkan Islam du tanah Afrika Selatan. Keberaniannya pun dikenang banyak orang. Tokoh Afrika, Nelson Mandela, salah satunya.

“Syekh Yusuf, yang dengan 4.000 orang tentara Bugis memihak Sultan Ageng dan turut bergerilya dengannya, juga ditangkap oleh Belanda. Pada September 1682 Syekh Yusuf bersama dua istrinya, beberapa anak, 12 murid, dan sejumlah perempuan pembantu dibuang ke Ceylon, kini Sri Lanka. Di Sri Lanka dia menulis karya-karya keagamaan dalam bahasa Arab, Melayu, dan Bugis.”

“la aktif menyusun sebuah jaringan Islam yang luas di kalangan haji yang singgah di Sri Lanka, di kalangan para penguasa dan raja-raja di Nusantara. Haji-háji itu membawa karya-karya Syekh Yusuf ke Indonesia dan karena itu, bisa dibaca di negeri kita sampai sekarang. Mengingat aktivitas Syekh Yusuf tadi, VOC Belanda khawatir dampaknya di bidang agama dan politik di Nusantara. Keadaan bisa bergolak terus. VOC lalu mengambil keputusan memindahkan Sheikh Yusuf Kaapstad di Afrika Selatan,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah kecil ‘Petite Histoire’ Indonesia Jilid dua (2008).

Renovasi Masjid

Tokoh-tokoh bangsa juga banyak yang kepincut dengan penokohan Syekh Yusuf. Soeharto dan Megawati utamanya. Soeharto sampai menyematkan gelar pahlawanan nasional kepada Syekh Yusuf pada 1995. Sedang Megawati beda lagi.

Ia telah mengagumi Syekh Yusuf sejak jauh-jauh hari. Kekaguman itu memuncak ketika ia melawat sebagai Presiden Indonesia ke Makam Syekh Yusuf di Kampung Makassar, Cape Town, Afrika Selatan. Di sela-sela kunjungannya pada 2002, Megawati menyaksikan sebuah masjid semi-permanen yang kurang terawat. Masjid Nurul Latief, namanya.

Masjid itu telah hadir sejak tahun 1940-an sebagai bagian tak terpisahkan dari makam Syekh Yusuf. Bangunan awalnya hanya dari kayu, kemudian direnovasi jadi semi permanen. Keinginan Megawati membangun kembali (renovasi) Masjid Nurul Latief pun memuncak.

Sikap Megawati mirip-mirip ayahnya, Bung Karno yang prihatin Masjid Leningrad (Masjid Saint Petersburg) yang tak terawat sebagai gudang di Uni Soviet. Soekarno lalu meminta sahabatnya petinggi Uni Soviet, Nikita Khrushchev untuk mengembalikan fungsi sekaligus merenovasi masjid.

Jamaah Masjid Nurul Latief, Cape Town, Afrika Selatan. (kemlu.or.id)

Megawati juga ambil sikap. Ia memilih merenovasi Masjid Nurul Latief. Ia merasa makam Syekh Yusuf adalah representasi Islam dan Indonesia. Masjid di sekitar makam Syekh Yusuf harus megah. Pun demi meningkatnya kualitas Muslim setempat.   

Dana yang digunakan adalah berasal dari kocek gotong royong rakyat Indonesia. Hasilnya memuaskan. Masjid itu jadi megah. Bahkan, dapat menampung hingga 1.500 lebih jamaah. Padahal, sebelumnya Masjid Nurul Latief hanya menampung 200-an orang saja. Apalagi beberapa ornamen masjid didatangkan dari Indonesia langsung. Renovasi Masjid Nurul Latief pun rampung pada saat Megawati tak lagi menjabat sebagai Presiden Indonesia. Wakil Presiden Jusuf Kalla yang bertindak meresmikan Masjid Nurul Latief pada 28 September 2005.

“Banyak warisan dan teladan yang ditinggalkan Syekh Yusuf. Presiden Soeharto pada 1995-tiga ratus tahun setelah kematian ulama besar ini-menganugerahkan gelar pahlawan kepada Syekh Yusuf, Dan pada 1997 Presiden Soeharto menziarahi makam Syekh Yusuf yang terletak di kawasan Makassar, Cape Town, Makam yang dikenal sebagai 'karamat Syekh Yusuf' tidak bisa lain, menjadi tempat ziarah paling populer di kalangan masyarakat Muslim Afrika Selatan.”

“Perhatian pemerintah Indonesia pada masyarakat Muslim Afrika Selatan asal Indonesia, yang kini sudah merupakan generasi kedelapan, terus berlanjut. Melalui Duta Besar RI di Pretoria, Abdul Nasier, pemerintah Indonesia di masa Presiden Megawati Soekarnoputri mendanai renovasi dan perluasan Masjid Nurul Latief yang terletak tidak jauh dari makam Syekh Yusuf. Kaum Muslim Indonesia masa kini boleh bersyukur dan bangga, bahwa anak negerinya -- seperti Syekh Yusuf dan banyak lagi dalam sejarah Islam di Afrika Selatan-- telah berperan besar dalam meninggikan kalimatullah di rantau yang begitu jauh,” ungkap Cendekiawan Muslim, Azyumardi Azra dalam buku Jejak-jejak Jaringan Kaum Muslim (2007).