Bagikan:

JAKARTA - Maskapai dagang Belanda, VOC kerap dibutakan oleh keuntungan perdagangan rempah. Empunya kuasa melihat keuntungan melimpah bak dewa. Pun urusan lain jadi terpinggirkan. Urusan agama, terutama. Saran Dewan Gereja untuk membatasi rumah ibadah kaum bumiputra dilakukan setengah hati.

Alih-alih melanggengkap kristenisasi, kompeni justru mendukung kebebasan umat beragama. Puncaknya pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker. Baginya, toleransi agama jadi kunci eksistensi VOC.

Bukan rahasia umum bila kejayaan kompeni dirintis oleh Jan Pieterszoon Coen. Gubernur jenderal VOC yang menjabat dua kali (1619-1623 dan 1627-1629) itu ingin memonopoli seluruh perdagangan rempah di Nusantara.

Ia merintis banyak hal. Ia mendirikan negeri koloni yang bernama Batavia (kini: Jakarta). Coen juga melanggengkan beberapa penaklukan wilayah Nusantara. Pulau Banda, salah satunya. Penaklukan itu membuat Coen ingin setiap wilayah kekuasaan Belanda warganya dikritenisasi.

Upaya kristenisasi dilakukan secara masif. Apalagi Coen adalah seorang Calvinis (Protestan) yang taat. Jauh panggang dari api. Upaya kritenisasi yang dilakukan gagal total. Keyakinan segenap kaum bumiputra tak mudah digoyang.

Penjajah Belanda tidak melarang kegiatan kenduri yang sering dilakukan masyarakat bumiputra. (Wikimedia Commons)

Narasi Kritenisasi pun akhirnya tak mendapat dukungan dari petinggi kompeni di Belanda, Heeren Zeventien (Dewan 17). Kristenisasi memakan biaya yang cukup besar. Sedang tujuan VOC adalah murni meraih keuntungan bejibun. Bukan masuk surga.

Sikap Kompeni pun berubah. Mereka akhirnya memilih tak terlalu ikut campur urusan agama. Sikap itu dikuatkan pula tindak-tanduk Kompeni yang mulai mendukung kebebasan beragama. Segala macam ibadah, termasuk pendirian rumah ibadah langgeng atas seizin Kompeni.

“VOC bersemboyan Economy first, sementara persoalan kristenisasi tidak menjadi perhatian yang utama, apalagi kalau proses itu dapat merugikan arus komersialisme. Akan tetapi, betapapun diakui sejarawan, Kernkamp bahwa kedatangan orang Eropa merupakan momen kritis bagi keberlangsungan Islam di Nusantara.”

“Pihak penjajah berkeyakinan bahwa untuk berhubungan dengan suatu bangsa yang sama dalam agama --sekalipun tidak sama dalam ras dan bahasa-- akan jauh lebih mudah. Oleh sebab itu, sekiranya Nusantara dapat dikristenkan, sistem penjajahan tidak akan banyak mendapatkan rintangan,” ungkap cendekiawan Islam, Ahmad Syafii Maarif dalam buku Mencari Autentisitas dalam Dinamika Zaman (2019).

VOC Dukung Kebebasan Beragama

Tak sedikit petinggi VOC yang mendukung perihal kebebasan beragama. Jikalau ada yang berkeberatan terkait kebebasan beragama tentu penolakan itu datang dari Dewan Gereja yang bermarkas di Batavia. Pemuka agama Kristen banyak yang menyayangkan keputusan kebebasan beragama.

Dewan Gereja menganggap aktivitas kaum bumiputra beragama yang terjadi di Nusantara, utamanya Batavia dianggap mengganggu iman orang Belanda. Namun, narasi itu terpatahkan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Joan Maetsuyker (1653-1678).

Ia justru melanggengkan sikap toleransi dalam politik agama. Baginya, mendukung kebebasan beragama laksana sebuah siasat. Dukungan itu mampu membawa pengaruh besar eksistensi Kompeni di mata kaum bumiputra di Nusantara.

Maetsuyker menyadari benar penganut Calvinis di Nusantara tak banyak. Jumlah orang Belanda pun terlampau sedikit. Sedang mereka ingin merangkul seisi Nusantara supaya mau bekerja sama dengan Kompeni. Maetsuyker menganggap jalan yang baik adalah tak melarang-larang kebebasan beragama supaya potensi konflik dapat direduksi.

Kelenteng oleh penjajah Belanda juga tidak dilarang untuk digunakan sebagai sarana ibadah pemeluk Kong Hu Chu. (Wikimedia Commons)

Umat beragama dipersilakan beribadah tanpa gangguan. Sekalipun tetap dalam pengawasan Kompeni. Begitu pula dengan keinginan umat beragama mendirikan kelenteng, sinagoge (tempat ibadah orang Yahudi), hingga masjid. Kompeni kerap memberikan izin.

“Bahwa di bawah pemerintahan Maetsuyker kaum muslim lebih bebas bergerak. Semua terbukti dari permohonan yang mereka –kaum muslim-- sampaikan kepada Pemerintah Agung agar dapat diperbolehkan mendirikan sebuah masjid baru dikabulkan. Maetsuyker menjelaskan kepada para pendeta bahwa dia bermaksud mengabulkan permohonan kaum muslim tersebut dengan dalih, bukankah orang muslim juga percaya pada satu Tuhan Yang Esa.”

“Sama seperti kami, lagi pula, mereka tidak dapat disalahkan karena tidak mengakui Tuhan Tritunggal Nasrani (Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus). Sebab, kata Maetsuyker hal itu diakibatkan ketidakbenaran dalam Al Quran atau karena tidak adanya berita-berita benar tentang kebenaran sejarah. Sikap toleransi Maetsuyker menguntungkan kaum muslimin,” sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).