Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 30 tahun yang lalu, 19 Februari 1993, Presiden Soeharto melantik Edi Sudradjat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang baru. Pelantikan itu dilangsungkan di Istana Negara, Jakarta.

Sebelumnya, andil Soeharto memiliki pengaruh besar untuk menentukan pejabat negara duduk pada jabatan strategis. Di militer, apalagi. Soeharto mampu menempatkan loyalisnya meraih jabatan terbaik. Sedang mereka yang dianggap mengganggu, diberi jabatan yang tak memiliki kekuatan politik.

Tiada yang berani mengganggu eksistensi Presiden Soeharto di masa Orde Baru (Orba). Empunya kuasa selalu siap sedia memadamkan tiap perlawanan aktivis maupun mahasiswa terhadap pemerintah. Pun api perjuangan mahasiswa mudah saja dipadamkan.

Semua itu karena Orba memiliki militer untuk melanggengkan kekuasaannya. Barang siapa yang mengganggu, mereka akan menerima konsekuensi yang berat. Dari diasingkan secara politik hingga penjara.

Kuasa Soeharto terhadap Pejabat negara juga tak jauh beda. Tiada pejabat negara yang mampu menolak kehendak Soeharto. Kala The Smiling General berkehendak, niscaya keinginannya harus segera dikabulkan. Jikalau tidak urusannya panjang.

Panglima ABRI Edi Sudradjat yang memerintah dari 19 Februari 1993 hingga 21 Mei 1993. (Wikimedia Commons) 

Bisa-bisa pejabat negara diturunkan pangkatnya atau segera diasingkan Orba dengan memberikan jabatan yang tak memiliki kekuatan politik lebih. Didubeskan (dijadikan duta besar), misalnya. Alasan itu buat pejabat negara mencoba berebut restu Soeharto, supaya kariernya langgeng dan tak didubeskan.

“Alih-alih kursi panas di jajaran eksekutif, untuk menjadi ketua partai, bahkan Ketua Palang Merah Indonesia, harus mendapat ‘restu' dari Soeharto. Restu Soeharto juga harus dikantongi oleh wadah-wadah yang hanya boleh ada satu di Indonesia, seperti organisasi wartawan, dokter, buruh, pengusaha,” kata Femi Adi Soempeno dalam buku Prabowo Titisan Soeharto? Mencari Pemimpin Baru di Masa Paceklik (2008).

Dominasi pengaruh Soeharto terlihat pula dalam dunia militer. Jenderal-jenderal yang memiliki prestasi dan dianggapnya sebagai loyalis diberikan jebatan tinggi dalam tata kelola pemerintahan. Restu Soeharto itu tak berani ditentang banyak pihak.

Kemampuan Soeharto dalam menentukan Jenderal TNI untuk menjabat sebagai Panglima ABRI (Pangap), misalnya. Soeharto pernah tercatat memilih loyalisnya Jenderal TNI Angkatan Darat (AD) Edi Sudradjat untuk menempati posisi istimewa itu. Tiada yang berani menolak keinginan Soeharto.

Apalagi dengan cepat pelantikan Edi Sudradjat dilakukan pada 19 Februari 1993. Edi Sudradjat kala itu mengganti posisi Try Sutrisno yang kemudian menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia. Pelantikan Edi Sudradjat pun disambut dengan suka cita. Ragam pejabat negara tampak hadir dalam pelantikan itu.

“Jumat pagi tanggal 19 Februari 1993, Jenderal TNI Edi Sudradjat dilantik sebagai Panglima ABRI, jabatan yang setingkat dengan Menteri Negara oleh Presiden Soeharto dalam suatu upacara yang berlangsung singkat, khidmat, dan sederhana di Istana Negara, Jakarta. Hadir pada upacara pelantikan antara lain Ibu Tien Soeharto, Wapres Sudharmono dan ibu E.N. Sudharmono.”

“Ketua MPR/DPR Wahono, Ketua Dewan Pertimbangan Agung M. Panggabean, para menteri Kabinet Pembangunan V, Pangab lama Jenderal TNI, Try Sutrisno, Kasal Laksamana TNI, M. Arifin, Kasau Marsekal TNI Siboen, Wakasad Letjen TNI Wismoyo Arismunandar, Kasum ABRI Letjen TNI, Faisal Tanjung, Kassospol ABRI Letjen TNI, Harsudiono Hartas, Pati ABRI lainnya dan pejabat tinggi,” tertulis dalam laporan Majalah Dharmasena berjudul Estafet di Pucuk Pimpinan ABRI (1993).