Bagikan:

JAKARTA - Kepentingan politik berada di atas segalanya dalam kuasa Soeharto dan Orde Baru (Orba). Rakyat jadi korban sudah biasa. Apalagi militer selalu setia melanggengkan keinginan Soeharto. Perubahan baru terjadi kala Indonesia diterpa badai resesi ekonomi 1997-1998.

Rakyat yang biasanya diam ikut menggelorakan pelengseran Soeharto. Tokoh politik Amien Rais, apalagi. Ia ingin menggelorakan aksi pengepungan Istana Negara. Namun, aksi itu urung dilakukan berkat lobi dari Letnan Jenderal Prabowo Subianto.

Kepemimpinan Soeharto sebagai orang nomor satu Indonesia pernah membawa angin segar. Ia dianggap mampu membawa Indonesia ke arah lebih baik dibanding era Orde Lama. Nyatanya kepemimpinan Soeharto tak jauh beda.

Kebebasan berpendapat yang dicita-citakan pada pemerintahan Orba tak pernah terjadi. Barang siapa yang berani melontarkan kritik, niscaya langkah politiknya akan dimatikan. Lebih lagi militer siap sedia berada di belakang Soeharto.

Semua berubah ketika badai resesi ekonomi 1997-1998 sampai ke Indonesia. Segenap rakyat Indonesia sudah tak tahan lagi dengan perilaku elite politik yang tak peka terhadap keadaan. Korupsi yang terus berlanjut, utamanya.

Prabowo Subianto saat berkampanye untuk menjadi Presiden Republik Indonesia 2019-2024. (Twitter/@Prabowo)

Kondisi itu berbanding terbalik dengan kondisi rakyat Indonesia yang kian sulit. Resesi ekonomi membuat hajat hidup rakyat Indonesia nelangsa. Harga tukar rupiah jatuh pada level terendah. Semua sektor terkena dampak. Alhasil, lapangan kerja mulai tak tersedia dan daya beli menurun.

“Betapa buruknya kondisi perekonomian Indonesia bagaikan sebuah pesawat terbang yang sedang mengalami super stall (menukik tajam karena kehilangan daya angkat). Saya harus sekuat tenaga menggunakan instrumen agar pesawat bisa memutar cepat untuk mencegahnya menghunjam ke bumi (dalam wujud hiperinflasi).”

“Kini pesawat yang nyaris menghunjam ke bumi itu sudah terbang dalam posisi mendatar. Maka jangan tendang-tendang kursi pilot. Jangan paksa orang lain mengambil. Don’t do that, karena pilot sudah bertindak benar. Saya butuh tiga tahun untuk menerbangkan pesawat ke ketinggian. Tapi saya tidak mau jual kecap,” ungkap Menteri Riset dan Teknologi, Bacharuddin Jusuf Habibie menggambarkan dampak resesi sebagaimana dikutip A. Makmur Makka dalam buku The True Life of Habibie (2008).

Prabowo Temui Amien Rais

Resesi ekonomi membuat kelompok mahasiswa dan tokoh oposisi Orba berang. Mereka menganggap kepemimpinan Soeharto akan membawa petaka bagi segenap rakyat Indonesia jika kepemimpinannya terus berlanjut. Kekesalan itu kemudian diluapkan dengan hadirnya sederet aksi massa pada awal 1998.

Demonstrasi menuntut Soeharto turun dari kursi kepresidenan muncul di berbagai wilayah Nusantara. Semua elemen masyarakat menyatu dengan mahasiswa turun ke jalan. Mereka antara lain berprofesi sebagai dosen, agamawan, pelajar, hingga seniman.

Tokoh politik Indonesia, Amien Rais juga tak ketinggalan. Ia jadi salah satu tokoh yang paling menonjol dalam menggelorakan aksi massa. Ia mampu mengajak segala macam elemen masyarakat untuk bergabung dalam unjuk rasa besar-besaran.

Tujuannya tak lain supaya Soeharto lengser dan era reformasi dapat berlangsung. Sebab, kepemimpinan Soeharto yang otoriter kerap membuat kekacauan politik. Amien Rais pun memanfaatkan karisma untuk merencanakan unjuk rasa besar-besaran menduduki Istana Merdeka pada 20 Mei 1998.

Unjuk rasa itu dirancang Amien Rais dengan memanfaatkan semangat Hari Kebangkitan Nasional. Gema aksi unjuk rasa yang dicanangkan pun membuat pemerintah pusing. Empunya kuasa pun segera merancang strategi untuk menghadap laju unjuk rasa.

Demonstrasi mahasiswa dengan menduduki Gedung DPR RI saat Reformasi 1998. (Majalah D&R/Rully Kesuma)

Pangkostrad, Prabowo Subianto (kini: Menteri Pertahanan Indonesia 2019-2024) pun mendengar rencana itu. Namun, ia tak takut dengan adanya aksi massa yang digelorakan oleh Amien Rais. Ia justru khawatir dengan kehadiran kekuatan lain yang ingin memanfaatkan Amien Rais sebagai martir –mati dibunuh—untuk mengganti kepemimpinan Soeharto. Serupa Revolusi Bolshevik (Uni Soviet: Rusia) 1917, pikirnya.

Ia pun langsung mendatangi sahabatnya, Amien Rais yang kebetulan menjadi salah satu inisiator aksi massa. Prabowo menjelaskan bahwa aksi itu dapat membawa petaka. Ia pun tak lama berpikir. Saran dari Prabowo langsung diamini Amien Rais.

Ia langsung bergerak membatalkan aksi massa besar-besaran pada pukul 02:00 WIB dini hari pada 20 Mei 1998. Kemudian, Prabowo kena getahnya akibat pertemuannya dengan Amien Rais. Pertemuan itu membuat hubungan Prabowo dan Keluarga Cendana jadi berjarak, apalagi Soeharto lengser pada 21 Mei 1998. Sedang hubungan Prabowo dan Amien Rais akrab setelah era reformasi.

“Untuk menghadang gerak laju massa, aparat keamanan telah menyiapkan kawat berduri pada jalan-jalan masuk ke Monas dan menempatkan tank yang siap menghalau massa yang akan masuk ke Monas serta tembakan peluru tajam seperti Tiananmen (China). Letjen Prabowo Subianto bertemu Amien Rais di Hotel Regent pada 19 Mei 1998 pukul 16:00 WIB. Antara lain meminta Amien Rais membatalkan aksi massa karena berbahaya.”

“Mereka bersepakat bahwa proses reformasi harus berjalan konstitusional. Artinya jika Presiden Soeharto mengundurkan diri, maka Wakil Presiden menggantinya, Rencana Amien Rais ini baru dibatalkan pada tanggal 20 Mei 1998 pulul 02:00 WIB melalui televisi, setelah ia melihat persiapan aparat disekeliling Monas,” ungkap Kivlan Zen dalam buku Refleksi Internal TNI AD 1945-2021 (2021).