Bagikan:

JAKARTA - Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Mumtaz Rais berjanji berenang dari Pantai Kapuk, Jakarta ke Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur (NTT) jika PAN Reformasi terbentuk. Janji yang jelas tak perlu didengar. Hanya saja, jadi menarik untuk mendalami kenapa politikus kerap sembarang cetus janji. Perilaku sembarang ini jadi pengingat, barangkali memang tak ada satupun janji politikus yang pantas kita dengar.

"Kalau memang PAN Halusinasi (PAN Reformasi) ini sampai beneran terbentuk dan diisi oleh seperempat saja dari anggota dewan kita yang berjumlah sekitar 1500-an, maka saya sebagai Ketua POK DPP, penjaga tangguh benteng PAN ini akan berenang dari Pantai Kapuk sampai Labuan Bajo. Sebagai bentuk give away. Persembahan dari saya," kata Mumtaz, kami kutip Selasa, 1 September.

Mumtaz menyebut PAN Halusinasi untuk menyindir misi sang ayah mendirikan partai baru. Misi yang di matanya mustahil. Bukan one way ticket. Mumtaz janjikan perjalanan bolak-balik. Janji kedua ia ucap untuk keyakinannya bahwa Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Laoly tak akan menerbitkan Surat Keputusan (SK) pendirian PAN Reformasi.

"Saya akan beri give away lagi, berenang dari Labuan Bajo sampai Kapuk. Bolak-balik. Kita tunggu sampai Desember," Mumtaz.

Mumtaz Rais (Instagram/@mumtaz.rais

Mumtaz 'jatuh tak jauh' dari Amien

Buah jatuh tak jauh dari pohon. Janji Mumtaz mengingatkan kita pada janji sembarang Amien Rais, ayah Mumtaz sendiri. Pada tahun 2014, Amien yang kala itu telah merapat ke kubu Prabowo Subianto pernah membuat nazar akan berjalan kaki pulang-pergi dari Yogyakarta ke Jakarta.

Dalam pemberitaan Kompas.com, dijelaskan nazar itu diungkap Amien ketika sejumlah awak media mempertanyakan sikapnya yang tiba-tiba mendukung Prabowo. Padahal, Amien sebelumnya dikenal keras terhadap Prabowo. Sebelum mendukung Prabowo, Amien pernah menyebut Prabowo dalang kasus 1998 dan sempat mendorong agar Prabowo diseret ke mahkamah militer untuk keterlibatannya dalam peristiwa kekerasan tersebut.

Amien membantah dan justru menantang balik awak media untuk membuktikan tuduhan-tuduhannya terhadap Prabowo. Amien bahkan berjanji akan berjalan kaki dari Yogyakarta ke Jakarta jika ada pemberitaan yang dapat membuktikan.

Amien Rais (Sumber: PAN.or.id)

"Saya tantang, kalau Anda bisa cari kembali potongan koran media cetak yang saya ngomong seperti itu, atau rekaman radio, atau rekaman televisi yang berkata seperti itu."

"Saya akan jalan kaki Jakarta-Yogya bolak balik. Kalau perlu sambil engklek. Saya enggak seperti itu. Insyaallah saya enggak pernah nuduh Prabowo yang begitu. Enggak," tambah Amien.

Bukti tuduhan Amien terhadap Prabowo terbukti. Dua kliping koran ditemukan. Pertama, berita dalam harian Republika tertanggal 24 Juni 1998 yang memuat headline berjudul: Amien Rais: Prabowo harus Dimahmilkan. Bukti kedua adalah potongan berita koran Kompas, 4 Agustus 1998.

Dalam beritanya, Kompas mengutip pernyataan Amien yang menyebut Prabowo sebagai salah satu yang bertanggung jawab dalam kasus penculikan 1998. Amien, yang kala itu menjabat Ketua Umum PP Muhammadiyah berharap Prabowo mengungkap semua yang diketahuinya kepada DKP dan tidak menyembunyikan apapun mengenai penculikan aktivis.

Janji sembarang politikus

Hal serupa kerap dipertontonkan banyak politikus lain. Tak perlu bicara tentang mereka para pemenang pemilu, baik kepala pemerintahan di tingkat nasional, daerah atau para calon legislatif. Anas Urbaningrum, mantan politikus Partai Demokrat pernah menyatakan siap digantung di Monumen Nasional (Monas) jika terbukti menerima uang dalam kasus suap proyek Hambalang. Anas terbukti korupsi. Tapi, ia tentu tak benar-benar digantung.

Presiden Jokowi saat diambil sumpah jabatan periode kedua di Gedung DPR/MPR (Instagram/@jokowi)

Mantan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan(Menko Polhukam), Wiranto juga pernah melontarkan sesumbar. Ia menantang mantan Staf Kostrad Kivlan Zen melakukan sumpah pocong. Hal itu dilakukan Wiranto untuk membantah tuduhan Zen atas keterlibatannya yang kala itu menjabat Panglima ABRI dalam kekerasan 1998.

Kami menghubungi peneliti ilmu politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti untuk menjelaskan kebiasaan para politikus itu. Menurut Puput --sapaannya familiarnya, Mumtaz, Amien, Anas, ataupun Wiranto dan banyaknya politikus lain telah memperhitungkan kondisi ini.

"Mereka menggunakan janji konyol itu karena sesungguhnya mereka sadar bahwa publik pun paham apa yang dijanjikan sulit atau bahkan taķ mungkin dipenuhi. Sehingga, jika pun apa yang dinyatakannya salah atau tak terbukti, janji itu tak perlu benar-benar dipenuhi," tutur Putri kepada VOI, Selasa, 1 September.

Kebiasaan ini terbentuk jadi kultur di kalangan politikus. Di antara mereka, janji hanyalah janji. Cuma ucapan. Tak ada unsur sakral di dalamnya. Hal ini buruk bagi iklim politik. Dalam kasus Mumtaz, apa yang janji yang ia ucapkan tak lebih dari caranya menegaskan ketidaksukaan terhadap Amien Rais dan misinya membentuk partai politik baru.

"Pada akhirnya janji ini tidak dilontarkan secara sungguh-sungguh dan kehilangan maknanya yang sakral ... Mereka mau menyampaikan pesan bahwa mereka sangat tidak suka pada satu hal," kata Puput.

Namun, begitulah. Tak banyak yang dapat kita lakukan untuk mengubah iklim politik yang terlanjur penuh omong kosong. Jika ada yang bisa dilakukan untuk diri kita sendiri, barangkali adalah menutup telinga karena tak ada satupun janji politikus yang perlu didengar.

"Hal ini justru semakin menegaskan stereotyping bahwa 'politisi tukang janji', 'omong kosong politisi', dan lain-lain."