Tuduhan Homoseksual: Taktik Pejabat Hindia-Belanda Lemahkan Lawan Politiknya
Zedenpolitie atau polisi susila yang diperkenalkan di Nusantara masa penjajahan Hindia Belanda pada tahun 1925 sampai saat ini masih ada di Belanda era modern. (EenVandaag/Politie in Amsterdam/ANP)

Bagikan:

JAKARTA - Penyakit moral dan asusila acap kali dianggap masalah besar. Homoseksual apalagi. Masalah itu bahkan telah hadir sejak masa penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial Belanda pun tak tinggal diam. Barang siapa yang ketahuan melanggengkan homoseksual dihukum berat. Dari copot jabatan hingga penjara. Namun, belakangan kebijakan pemberantasan zedenschandaal (skandal susila) justru jadi alat politik politisi di Hindia-Belanda. Alias, tuduhan homoseksual dimainkan untuk membungkam lawan politik.

Salah satu hal yang dapat menggambarkan penjajahan Belanda di Nusantara adalah moralitas. Masalah moral pejabatnya di negeri koloni dari berwujud maskapai dagang Belanda, VOC hingga pemerintah kolonial Hindia-Belanda selalu dianggap penting. Urusan asusila itu awalnya diurus dewan gereja, lalu berkembang menjadi tugas kepolisian.

Keseriusan Belanda dalam mengatur masalah moral makin terlihat pada 1925. Belanda memberanikan diri membentuk zedenpolitie (polisi susila) di tanah Hindia. Semua itu karena Belanda menganggap terjaga moralitas merupakan ciri utama daripada masyarakat modern. Sementara mereka yang melanggengkan perbuatan asusila dinilai melanggar keamanan dan ketertiban di negeri koloni.

Polisi pada masa Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Boleh jadi mulanya masalah skandal-skandal homoseksual tak terlalu dianggap penting dibandingkan masalah prostitusi, pergundikan, atau perzinahan. Zaman pun berubah. Isu-isu skandal homoseksual di antara pejabat pemerintah mencuat di seantero dunia. Masalah itu kemudian jadi fokus pemeritahan di banyak negera. Hindia-Belanda, salah satunya.

Praktek-praktek homoseksual disinyalir telah hadir dalam kehidupan sehari-hari pejabatan Belanda di Nusantara. Apalagi praktek itu dilanggengkan mereka dengan melibatkan pasangan sejenis di bawah umur. Pemerintah kolonial ambil sikap. Razia menangkap pelaku homoseksual secara besar-besarannya dilakukan pada 1938-1939. Demi pengetatan standar moral di Hindia-Belanda, pikirnya.  

“Selain menggunakan istilah zedenschandaal (skandal susila) pemberitaan surat kabar di Hindia juga mengunakan istilah-istilah seperti grote schoonmaak (pembersihan besar-besaran), zedenschoonmaak (pembersianan moral), dan reinigingsproces (proses pembersihan/pemurnian), dalam artikel mereka. Tercatat surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad dalam kurun waktu 27 Desember 1938 hingga 15 Mei 1939 menggunakan istilah Reinigingsproces sebanyak 29 kali untuk judul berita mengenai operasi kepolisian dan penuntutan terhadap kelompok homoseksual.”

“Razia pihak polisi dalam kurun waktu 1938-1939 menyasar para pria yang dianggap berhubungan badan dengan anak laki-laki (di bawah umur 21 tahun). Menurut pasal 292 Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Hindia-Belanda, pedofilia adalah tindak pidana. Hal yang mengherankan adalah pada periode sebelumnya tindakan ini dibiarkan karena yang menjadi sasaran adalah kegiatan prostitusi yang berhubungan dengan perdagangan perempuan dewasa dan anak,” ungkap Sejarawan Achmad Sunjayadi dalam buku (Bukan) Tabu di Nusantara (2018).

Taktik Lemahkan Lawan Politik

Kemunculan laporan perilaku menyimpang di antara para pejabat Hindia-Belanda membuat gempar seisi Nusantara. Desas-desus keterlibatan pejabat Belanda dalam mengenai kehidupannya melanggeng homoseksual jadi muaranya. Lagi pula makin hari, desas-desus itu makin terangkat.     

Pemerintah Hindia-Belanda pun tak tinggal diam. Razia homoseksual secara besar-besaran segera diinisiasi pada 1938-1039. Razia itu dilakukan hampir di seantero negeri. Dari Batavia hingga Medan. Polisi susila pun memainkan perannya. Mereka melakukan penyelidikan hingga penangkapan tertuduh homoseksual.

Operasi itu mampu menangkap 223 orang. Namun, yang dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman dan pemencatan mencapai 171. Jumlah itu tak semuanya karena terbukti bersalah, melainkan karena tuduhan homoseksual yang secara sengaja di lepas oleh pejabat lainnya. Tujuannya tak lain untuk membungkam lawan politik.

Aktivitas orang-orang Belanda di Nusantara pada masa Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Upaya menjadikan tuduhan homoseksual itu terbukti ampuh dalam memukul mundur lawan politik. Jika dibandingkan, kekuatan tuduhan homoseksual masa Belanda sama vitalnya seperti tuduhan keterlibatan dalam kegiatan Partai Komunis Indonesia (PKI) era Orde Baru (Orba).

Mereka yang memanfaatkan momentum menyerang lawan politik lewat tuduhan homoseksual tak cuma datang dari pejabat Belanda saja. Pejabat bumiputra Mohammad Hoesni (M.H) Thamrin pernah mencobanya. Di atas mimbar Volksraad (serupa: DPR zaman Belanda), ia mengungkap kegiatan homoseksual yang banyak dilanggengkan pejabat Belanda. Ajian itu berhasil.

“Dugaan adanya praktik-praktik seksual menyimpang sesama jenis laki-laki mencapai puncaknya pada akhir 1938, ketika muncul usaha obsesif untuk menyingkap fakta. Antropolog Amerika, Margaret Mead menyebutnya ‘perburuan penyihir’ yang sesungguhnya muncul karena adanya praktik homoseksualitas di masyarakat kolonial kulit putih.”

“Pada 1 Maret 1939, setelah Pemerintah Belanda menjadi gila karena melemparkan tuduhan kepada sejumlah besar laki-laki Eropa terpandang sebagai pelaku homoseksualitas, di antara mereka yang tertangkap adalah orang-orang terhormat dan terkenal, seperi Walter Spies, Roelof Goris, dan Herman Noosten di Bali,” ungkap Frances Gouda dalam buku Dutch Cultures Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942 (2007).