JAKARTA - Sejarah hari ini, 90 tahun yang lalu, 24 Oktober 1932, Mohammad Hatta mengisi ceramah di hadapan para jurnalis Minangkau tentang kedudukan pers. Ceramah itu dilakukan di Clubhuis PGKB, Minangkabau. Hatta menyebut kerja jurnalistik dan politik tak dapat dipisahkan. Apalagi bagi kepentingan kaum bumiputra.
Pers adalah alat perjuangan. Sebuah perjuangan meraih kemerdekaan. Sebelumnya, nama Hatta kesohor di seantero negeri berkat kiprah politiknya di Belanda. Ia pun pulang ke Indonesia untuk 'mewakafkan' dirinya kepada agenda perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia.
Semangat anti kolonialisme Hatta semakin menyala ketika tiba di Belanda (1921-1932). Statusnya sebagai mahasiswa tak hanya melulu dihabiskan untuk mengejar pendidikan belaka. Hatta justru mulai aktif dalam dunia politik.
Ia bergabung dengan Indische Vereeniging (Perkumpulan Hindia). Sebuah organisasi yang dihuni oleh mahasiswa bumiputra di Belanda. Organisasi itu jadi salah satu wadah penting pergerakan di Indonesia. Satu sisi, Perkumpulan Hindia berperan aktif menentang sistem kolonial. Sisi lainnya wadah itu mampu menyatukan semangat kebangsaan.
Keaktifan Hatta di politik tercium Pemerintah Belanda. Hatta pun ditangkap dan sidang atas tuduhan makar. Hatta tak gentar. Ia menggelorakan pembelaannya (pledoi) terhadap tuduhan tersebut di pengadilan Belanda. Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka), namanya.
Pledoinya menggelegar. Bahkan, isi pledoinya mampu diselundupkan hingga pelosok Hindia-Belanda. Kiprah itu membuat nama Hatta makin melambung. Kehadirannya ditunggu-tunggu di Indonesia. Bung Hatta pun kembali ke Indonesia ketika urusan kuliahnya selesainya.
“Kematangan Hatta tambah bertumbuh ketika ia belajar di Belanda dari 1921. Ia belajar dengan tekun di Handels Hogeschool (Sekolah Tinggi Dagang, kemudian Economische Hogeschool, Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, tetapi ia tidak semata-mata menjadi mahasiswa ‘kutu buku.’
“Ia juga aktif dalam organisasi Indische Vereeniging (Perkumpulan Hindia, berdiri tahun 1908), yang mulanya merupakan organisasi sosial, tetapi kemudian berangsur menjadi organisasi politik. Terutama pengaruh Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangoenkoesoemo tahun 1913 ketika mereka tidak boleh bergerak di Indonesia, dan oleh sebab itu terpaksa ke Belanda. Indische Vereeniging berganti nama menjadi Indonesiche Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia,” ungkap Deliar Noer dalam buku Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa (2012).
Kepulangan Hatta disambut dengan gegap gempita. Ia terus melanjutkan agenda politiknya di Hindia-Belanda. Namun, sebelum lebih jauh Hatta memilih untuk pulang kampung terlebih dahulu di Minangkabau.
Ia memilih pulang kampung untuk sejenak berjumpa dengan keluarganya. Pun kepulangannya juga disambut dengan optimisme oleh kalangan jurnalis. Hatta diminta untuk mengisi ceramah di Clubhuis PGHB pada 24 Oktober 1932.
Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Hatta untuk menyampaikan pidato penting. Antara lain Hatta menyebut jurnalistik dan politik tak bisa dilepaskan. Kehadiran pers adalah senjata penting bagi perjuangan. Alias pers dianggapnya sebagai instrumen penting dalam meraih kemerdekaan Indonesia.
BACA JUGA:
“Sesudah tanggal 20 Oktober aku berangkat ke Padang. Maksudku akan tinggal di Sumatra Barat barang sebulan. Selain dari pulang kampung, menemui nenek, ibu serta kedua pamanku di Bukittinggi dan ziarah ke Batuhampar, aku akan menuliskan keterangan dasar gerakan Pendidikan Nasional Indonesia, yang akan kuberi judul: Kearah Indonesia Merdeka. Pada kursus-kursus PNI di Jakarta dan Bandung keterangan dasar itu sudah kuuraikan, tetapi belum ditulis sebagai brosur.”
“Tanggal 23 Oktober 1932 aku sampai di Padang, dijemput oleh beberapa kenalan, antara lain Engku Taher Marah Sutan. Engku Taher Marah Sutan meminta aku menginap di rumahnya sebelum aku berangkat ke Bukittinggi. Wartawan yang ada di Padang mendesak dia supaya diusahakan aku mengadakan suatu ceramah tentang kedudukan pers. Ceramah itu pada tanggal 24 Oktober malam pada Clubhuis PGKB,” ungkap Hatta dalam buku Mohammad Hatta: Memoir (1975).