Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 90 tahun yang lalu, 20 Juli 1932, Mohammad Hatta atau Bung Hatta berlayar meninggal negeri Belanda via Rotterdam. Kepulangannya ke Hindia-Belanda (kini: Indonesia) jadi momen paling menentukan dalam sejarah bangsa.

Bung Hatta muncul sebagai salah satu pejuang kaumnya untuk lepas dari belenggu penjajahan. Apalagi kepulangan Bung Hatta membawa oleh-oleh besar: buku. Ada 16 peti buku yang dibawanya. Buku-buku itulah yang menemani Bung Hatta mencerdaskan anak-anak bangsa di pengasingan.

Kedekatan Bung Hatta dengan buku tak perlu dipertanyakan. Ia mengenal buku sedari kecil. Bung Hatta kerap menghabiskan waktunya membaca buku. Namun, hobi membaca Hatta semakin menjadi-jadi ketika ia melanjutkan pendidikannya ke Batavia pada 1919. Sekolah Tinggi Dagang, Prins Hendrik School jadi pilihannya.

Kala itu, Bung Hatta mulai mengoleksi banyak buku. Ia merasa dengan membaca buku tiada waktu yang terbuang percuma. Bahkan, Hatta lebih memilih menghabiskan waktu dengan membaca buku, dibanding bersenang-senang.

Bung Hatta menghadiri sebuah pameran buku di Jakarta pada 1954. (Wikimedia Commons)

Baginya, tiap buku banyak membuka cakrawala dalam berpikir. Pun karena buku keinginan Bung Hatta untuk berjuang melepas belenggu penjajahan atas kaumnya semakin menjadi-jadi. Buku membuatnya banyak mempelajari pelajaran-pelajaran berharga untuk memperjuangkan kemerdekaan. Sikap itu bertambah kuat ketika Hatta berada melanjutkan pendidikannya di Belanda pada 1922.

Kedekatan Bung Hatta dengan buku juga turut membawanya untuk aktif dalam pergerakan. Kiprahnya di pergerakan cukup gemilang. Ia jadi salah satu orang yang perhitungkan. Semuanya bermuara dari kelihaian Hatta dalam beradu gagasan.

“Kematangan Hatta bertumbuh ketika ia belajar di Belanda dari 1921 sampai 1932. Ia belajar dengan tekun di Handels Hogeschool (Sekolah Tinggi Dagang, kemudian Economische Hogeschool, Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, tapi ia tidak semata menjadi mahasiswa kutu buku.”

“Ia juga aktif dalam organisasi Indische Vereniging (Perkumpulan Hindia, kemudian berubah Perkumpulan Indonesia), yang mula adalah organisasi sosial, tetapi kemudian berangsur menjadi organisasi pilitik, terutama dengan pengaruh Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangoenkoesoemo tahun 1913 ketika mereka tidak dibolehkan bergerak di Indonesia, dan oleh sebab itu terpaksa ke Belanda,” ungkap Deliar Noer dalam buku Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa (2012).

Di Belanda, Bung Hatta acap kali menambah buku koleksinya. Ia mengumpulkannya satu demi satu. Karenanya, membaca jadi aktivitas penting ketiga, setelah kuliah dan aktif dalam gerakan. Buku-buku itu semakin memanaskan semangat Hatta untuk segera berjuang di tanah air.

Waktunya pun tiba. Bung Hatta meninggalkan Rotterdam pada 20 Juli 1932. Kepulangan Bung Hatta ke Hindia-Belanda tak sendiri. Ia ditemani oleh 16 peti besi yang berisi buku-buku koleksi Bung Hatta. Pun ia kemudian membawa buku itu ke mana-mana. Bahkan, hingga ke pengasingan untuk mencerdaskan anak bangsa lainnya.

Buku adalah salah satu pemberi inspirasi bagi Bung Hatta untuk terjun dalam pergerakan nasional. (Wikimedia Commons)

“Ceritanya sekitar 1932. Bung Hatta baru saja tiba di Batavia dari Nederland setelah berlayar dari Rotterdam 20 Juli 1932. Ia mula pertama berkenalan dengan dua bersaudara Djohan Soetan Soeleman dan Djohor Soetan Perpatih di toko mereka di Pasar Senen, ketika ia hendak mengambil buku-bukunya di pelabuhan Tanjung Priok. Karena jumlah bukunya banyak, 16 peti besi, ia terpaksa meminta bantuan untuk mengangkutnya dengan truk kepunyaan Djohan Djohor.”

Bung Hatta memanggil Djohan maupun Djohor ‘Mak Etek’, yang sama artinya dengan ‘Macik’ atau ‘Oom’. Ia tinggal sementara di JI. Defensielijn van den Bosch, mungkin JI. Bungur Besar sekarang, di rumah Mak Etek Ayub Rais yang juga bekerja pada Djohan Djohor, khusus mengurus soal-soal impor,” tutup P. Swantoro dalam buku Dari Buku ke Buku: Sambung Menyabung Menjadi Satu (2002).

Kepulangan Bung Hatta ke Hindia Belanda menjadi catatan sejarah hari ini, 20 Juli 1932.