JAKARTA - “Diasingkan karena melawan.” Narasi itu sering kali tertulis dalam kisah hidup seorang tokoh bangsa yang hendak membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda. Gambaran yang nyata adanya. Kala itu, barangsiapa yang bersuara lantang mengganggu eksistensi kompeni, setidaknya akan ada dua konsekuensi: dipenjara atau diasingkan. Dan buku adalah salah satu cara untuk tetap waras di tengah kekusutan.
Sederet tokoh bangsa, seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Tan Malaka, hingga Ki Hajar Dewantara pernah merasakan sedih, pedih, dan keputusasaan berada di pengasingan. Kala itu pemerintah kolonial Belanda yakin pengasingan seorang tokoh akan meredupkan perlawanan yang dibentuknya.
Kompeni salah besar. Bak senjata makan tuan, hukuman pengasingan kepada tokoh bangsa justru memantik semangat pemberontakan yang lebih besar. Dalam pengasingan, para tokoh tetap hidup, berdaya, membudayakan diskusi. Dan buku, bagai mantra perlawanan.
Bagi para pemimpin bangsa kala itu, buku adalah sarana mengasah pikiran dan cara mereka memperkuat diri dengan pengetahuan. Lewat buku, para pemimpin dapat mengorek seluk-beluk informasi, keindahan, humor, hingga kepahitan.
Sebagaimana diungkap Goenawan Mohamad dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Buku (1992). Goenawan menjelaskan bagaimana guna buku sebagai gerbang dunia tanpa batas. "Membaca bukan seperti makan: ada mulut, ada rendang Padang, ada pencernaan, ada pembuangan," tertulis.
"Bacaan sebagai 'makanan otak' adalah kiasan yang menyesatkan. Membaca adalah berargumentasi, menciptakan, membentuk, mengubah: semua itu pada saat yang sama juga proses menghidupkan apa yang dibaca."
Saking pentingnya buku, Tan Malaka, dalam mahakaryanya, Madilog (1943) sampai berkata bahwa selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. "Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi."
Pengasingan Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara
Tan Malaka bahkan sempat menyatakan keirian hatinya saat mengetahui Leon Trotsky --tokoh revolusi Rusia-- dan Muhammad Hatta bisa membawa berpeti-peti buku ke pengasingan mereka. "Seorang tukang tak akan bisa membikin gedung, kalau alatnya seperti semen, batu tembok dan lain-lain tak ada."
"Seorang pengarang atau ahli pidato perlu akan catatan dari buku musuh, kawan, ataupun guru. Catatan yang sempurna dan jitu bisa menaklukkan musuh secepat kilat dan bisa merebut kesepakatan dan kepercayaan yang bersimpati sepenuh-penuhnya."
Bung Hatta yang baru pulang dari Belanda kala itu konon membawa buku yang tidak sedikit. Dikutip dari P. Swantoro, dalam buku Dari Buku Ke Buku (2002), jumlah buku yang dibawa pulang oleh bung hatta mencapai 16 peti besi.
Bung Hatta bahkan sampai meminta bantuan kepada salah seorang temannya, Djohan Djohor untuk mengangkut seluruh buku dengan truk. Buku-buku itu yang nantinya menemani Bung Hatta di pengasingan, baik di Boven Digul, Papua (1935-1936), maupun Banda Neira (1936-1942).
Sang putra fajar, Bung Karno juga melakukan hal yang sama ketika menjalani hari-hari di pengasingannya di Ende (1934-1939) dan Bengkulu (1938-1942). Tercatat, koleksi buku Bung Karno mencapai seribu lebih. Sama seperti Hatta, Bung Karno tak meninggalkan satupun buku di pengasingan. Selepas asing, seluruh buku ia bawa ke Jakarta.
"Dalam koleksi bukunya itu terdapat buku-buku yang membicarakan fasisme serta cara-cara mengalahkannya. Misalnya, tulisan Willy Munzenberg yang berjudul 'Propaganda als Waffe', atau karangan Ernst HenDry yang berjudul 'Hitler Over Rusia'. Koleksi buku Soekarno yang sedemikian banyak disertai perenungan yang dalam mengantarkannya untuk merumuskan dasar negara," ungkap Peter Kasenda dalam buku Bung Karno Panglima Revolusi (2014).
Tokoh terakhir yang tercatat membaca banyak buku saat kepulanganannya dari tanah pengasingan Belanda adalah Pangeran Jawa, Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Dalam persiapan kepulangannya ke tanah air, istrinya, Soetartinah tampak mengumpulkan seluruh barang yang akan dibawa pulang, termasuk buku-buku.
Dikutip dari tulisan Irna H.N. Hadi Soewito dalam buku Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan (1985), diceritakan, Soetartinah mengumpulkan, menyusun, dan mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa pulang ke tanah air. “Tidak banyak yang tampak berharga, selain dua anak hasil kasih dan buku-buku yang memerlukan tempat tersendiri.”
BACA JUGA:
Kala itu, Ki Hajar Dewantara pulang ke Tanah Air menggunakan Kapal Rindjani Nomor 262 milik Stoomvaart Maatschappij Rotterdam Lloyd Rots Co. Perusahan kapal tersebut telah mempunyai agen-agen pusat di di Rotterdam, Amsterdam, dan Dam Amtwerpen. Ki Hajar Dewantara pun memercayai barang-barangnya yang terdiri dari satu koper besar dan dua peti buku untuk diangkut menggunakan Kapal Rindjani.
“Pengiriman tiga koli barang yang terdiri dari satu koper dan dua peti kayu ke Insulinde, Semarang, Indie, tersebut dikenai biaya 1.000 gulden. Mengenai keselamatan pengiriman paket tidak perlu disangsikan lagi. Sebab, kerusakan dan hilangnya barang akan ditanggung oleh pihak perkapalan (asuransi),” Irna mengisahkan.