Bagikan:

JAKARTA - Ali Sadikin adalah salah satu gubernur terbaik yang pernah memimpin DKI Jakarta. Gagasannya acap kali cemerlang. Kadang pula berunjung kontroversi. Tiada yang tabu baginya. Pun ia tak antikritik. Pria yang akrab disapa Bang Ali membuka ruang yang luas untuk dikritik.

Nada-nada kritik dari surat kabar pagi selalu ditindaklanjutinya. Apalagi ide perluasan Jakarta. Ia pun mengajukan Depok sebagai salah satu wilayah yang masuk DKI Jakarta. Upaya itu dilakukannya supaya Jakarta dapat bersinergi dalam hal mempercantik diri.

Perihal membangun Jakarta bukan perkerjaan mudah. Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin (1966-1977) mengamininya. Ia harus berjuang mati-matian untuk memetakan permasalahan Jakarta. Ia memahami benar arti dari seorang gubernur. Menurutnya, gubernur itu memiliki dua fungsi. Pertama, kepala daerah. Kedua, sebagai wakil pusat (presiden) di daerah.

Bang Ali merasakan betul bahwa kebanyakan gubernur justru dominan bekerja sebagai alat pusat, ketimbang menjalankan fungsinya sebagai kepala daerah. Bang Ali pun mendobrak kebiasaan lama itu. Ia ingin menjadi pemimpin daerah yang mampu menyalurkan aspirasi rakyatnya.

Guberur DKI Jakarta Ali Sadikin, memandang dua fungsi gubernur yaitu sebagai kepala daerah dan wakil pusat di daerah. (Perpusnas)

Semua itu supaya suara rakyat Jakarta terwakilkan. Tanggung jawab itu besar. Butuh keberanian moral untuk menjaganya. Ali Sadikin pun aktif melangsungkan kunjungan secara incognito ke kampung-kampung. Ia juga rela berbaur dengan warga di terminal atau dalam bus kota. Sebab, satu-satunya yang ingin didapatkan oleh Ali Sadikin adalah keresahan warganya.

Butir-butir keresahan yang didapatkan olehnya, lalu dituangkan dalam bentuk solusi: kebijakan. Kalau pun tak melangsungkan kunjungan, ia lebih memilih untuk meluangkan waktu membaca surat kabar pagi hari. Koran itu menurutnya ruang aspirasi yang mutakhir bagi warga Jakarta. Ruang solusi, terutama.

“Memang. Yang paling sering saya membacanya dalam surat kabar, berupa artikel atau surat pembaca. Jadi, setiap bangun pagi, saya sudah menghadapi setumpuk Koran dengan spidol merah di tangan. Mana yang berkaitan dengan Pemda DKI, saya coret, sreeet, sreeet. Kemudian, saya langsung panggil kepala dinas atau bagian yang bertanggung jawab. Saya tanya, mengapa bisa begini? Dia harus bisa menjelaskan secara memuaskan.”

“Pemda DKI itu, saya ibaratkan sebuah perusahaan. Saya dirutnya, rakyat yang diwakili DPRD pemegang sahamnya. Oleh karena itu, jika ada rapat DPRD, saya dan semua staf diwajibkan hadir. Kalau anggota DPRD berbicara tentang suatu hal, saya bisa langsung meminta penjelasan kepada staf yang bertanggung jawab. Jadi, semua anggota DPRD puas dan tidak ada yang berusaha menjelek-jelekkan saya,” ungkap Ali Sadikin sebagaimana disusun Ramadhan K.H. dalam buku Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab (1995).

Perluasan DKI Jakarta

Kritik dan masukan mulai berdatangan kepada Bang Ali. Sebagiannya ditolak, sebagiannya yang dirasa memiliki dampak yang signifikan diaplikasikan. Usulan dari  pemerintah pusat yang diwakili Menteri Cipta Karya dan Kontruksi, David Gie Cheng (1964-1966), misalnya. Kala itu David Gie Cheng memiliki gagasan untuk meluaskan Jakarta sampai ke Ciawi, Bogor, Bekasi, dan Tangerang.

Namun, Bang Ali menolak ide dari pemerintah pusat. Ia mencoba menyederhanakan atau memodifikasi ide itu. Bang Ali bersiasat. ia meminta timnya segera memetahkan wilayahnya mana saja yang masuk memiliki potensi besar masuk Jakarta. Buahnya, Depok jadi yang paling potensial masuk Jakarta. Depok bersanding pula dengan Cibinong dan Bekasi.

Boleh jadi usul itu awalnya diinisiasi oleh pemerintah pusat, tapi yang jalan tetap saja Bang Ali sendirian. Pemerintah Pusat dianggap Bang Ali tak bertindak secara nyata. Pemerintah pusat mandek, secara mental maupun material. Bang Ali coba jalan sendiri. Ia mencoba merangkum Gubernur Jawa Barat Solihin G.P. untuk mendiskusikan perluasan Jakarta.

Jauh panggang dari api. Usulan Ali Sadikin ditolak mentah-mentah. Jawa Barat enggan melepaskan wilayahnya walaupun sedikit. Padahal, Bang Ali telah melihat peran Jawa Barat dalam membangun di wilayah itu tak begitu besar. Beda hal jika pembangunannya dilaksanakan oleh pemerintah DKI Jakarta.

Kota Depok, Jawa Barat dilihat dari udara. (Wikimedia Commons)

Penolakan itu harus dibayar mahal. Bahkan hingga kini. Sebagai imbas tak jadi bergabungnya Cibinong, Depok, bekasi, pembangunan di wilayah penyangga Jakarta acap kali tak nyambung dengan pusat. Apalagi skala prioritas pembangunan tiap daerah beda-beda. Dan itu menyulitkan untuk menghadirkan terobosan bagi mobilitas orang-orang di Jabodetabek.  

“Saya tidak setuju dengan gagasan (pemerintah pusat) itu. Pak Mashudi, mantan Gubernur Jawa Barat pun, tahu tentang ketidaksetujuan saya. Dalam pada itu saya sudah merasa, bahwa batas Jakarta yang dulu itu mesti diubah. Karena apa? Karena garis-garis batas itu tidak tepat. Biasanya batas itu harus jelas secara fisik. Misalnya sungai, gunung, atau jalan. Contohnya lagi, kalau kita dari Jakarta (dari Grogol) ke Tangerang, sekonyong-konyong kita masuk ke wilayah Tangerang (Jawa Barat), setelah itu kita masuk ke wilayah Jakarta lagi, dan setelah itu masuk ke wilayah Jawa barat lagi.”

“Nah, batas seperti itu mesti diubah, diluruskan. Maka saya perintahkan kepada staf DKI, coba sampai sejauh mana baiknya luasnya itu. maka staf saya kemudian mengusulkan daerah Cibinong masuk DKI, Depok masuk DKI, Bekasi masuk DKI. Garis itu yang saya ajukan waktu pertemuan dengan Gubernur Jawa Barat, Solihin G.P,” tutup Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).