Bagikan:

JAKARTA - Hari ini, 18 tahun yang lalu, 14 Juli 2004, Indonesia kehilangan kehilangan polisi teladan. Jenderal Hoegeng Imam Santoso, namanya. Ia meninggal dunia setelah menjalani perawatan karena stroke di Rumah Sakit Cipto Mangoenkoesumo (RSCM), Jakarta Pusat.

Hoegeng semasa hidupnya adalah sosok teledan. Tindak-tanduknya mengagumkan. Demikian pula prestasinya yang bejibun. Sosoknya tak bisa disetir. Apalagi disuap. Nyawanya kadang jadi taruhan. Kiprah itu buat Hoegeng dijuluki manusia langka.

Polisi adalah mimpi Hoegeng sejak kecil. Heroisme seorang polisi dalam menjaga ketertiban dan membantu orang banyak adalah muaranya. Mimpi itu lantas dikejarnya. Pun akhirnya berhasil digapai. Hoegeng resmi menjadi seorang polisi. Ia menjalani pekerjaannya dengan tekun dan telaten. Karenanya, popularitas Hoegeng sebagai polisi jujur dan berintegritas meningkat.

Prestasi itu sampai ke telingan Kapolri Pertama Indonesia, Raden Said Soekanto. Sang Kapolri memberikan tantangan kepada Hoegeng untuk memberantas judi, smokel (penyelundupan), dan korupsi di Medan. Tugas itu sengaja diberikan kepada Hoegeng. sebab, Soekarno percaya Hoegeng tokoh yang tepat untuk melakukan pembersihan besar-besaran di Medan.

Hoegeng lalu diangkat Soekanto sebagai Kadit Reskrim Kepolisian Sumatra Utara di Medan. Hoegeng memahami Medan lazimnya sebagai tempat test case-nya seorang polisi. Yang mana, jika seorang polisi berhasil mengemban tugas dengan baik maka popularitasnya akan meningkat. Sedang mereka yang dapat “dibeli” pengaruhnya oleh pengusaha maka akan dianggap gagal.

Jenderal Hoegeng Imam Santoso saat menjabat sebagai Kapolri pada 1968. (Perpusnas)

Hoegeng jelas berpegang teguh pada prinsipnya. Ia menjalankan tugas sebaik-baiknya. Bahkan, saat ia tiba di Medan Hoegeng banyak menolak mentah-mentah hadiah –suap-- yang diberikan.

Tak habis ide, pengusaha yang disebut Hoegeng Cina Medan lalu mencoba menghiasi rumah dinas Hoegeng dengan perabotan mewah. Namun, lagi-lagi Hoegeng menolak.

“China tukang suap itu memang badung. Tanpa menggubris kehadirannya, maka anggota polisi yang membantu serta kuli-kuli saya perintahkan mengeluarkan dengan paksa barang yang bukan untuk sata itu ke pinggir jalan di depan rumah: piano, lemari-lemari, meja, kursi tamu, buffet, meja makan, kulkas, radio, tape rekorder, dipan-dipan jati, dan entah apa lagi.”

“Sayang sebenarnya membuang perabot-perabot lux yang mewah itu, yang entah kapan dapat kami beli sendiri. Apalagi kalau mau mengambil rumah dan mobil hadiah sebelumnya! Akan tetapi itu lebih baik ketimbang saya melanggar amah almarhum ayah saya dan mengkhianati sumpah jabatan sebagai penegak hukum di republic ini,” ungkap Hoegeng sebagaimana ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).

Percobaan Pembunuhan

Hoegeng tak pernah main-main dalam menegakkan keadilan di Medan. Segala macam kegiatan yang melanggar hukum ditumpasnya. Ia ingin menunjukkan identitas polisi yang ideal adalah lewat tindak-tanduknya. Urusan judi, penyelundupan, dan korupsi berhasil ditumpasnya.

Tiap kasus yang ditemukannya, Hoegeng acap kali melihat adanya aparat kepolisian yang korup. Polisi korup itu jadi semacam “beking” bagi usaha haram para pengusaha setempat. Hoegeng tak peduli. Siapa saja yang melanggar hukum harus segera ditindak.

Keberanian hukum membuat sosok dirinya populer di saentero Medan. Ia disukai oleh banyak warga. Namun, musuhnya tak kalah bejibun. Rata-rata mereka berasal dari polisi korup dan pengusaha yang usahanya terganggu oleh kehadiran Hoegeng. Ajian guna-guna hingga percobaan pembunuhan terhadap Hoegeng pun dilakukan. Namun, Hoegeng tak takut. Malahan ia berumur panjang.

Jenderal Hoegeng Imam Santoso aktif berkesenian selepas pensiun dari kepolisian. (Instagram)

“Karena tak mau kompromi, Hoegeng juga tak jarang menghadapi ancaman pembunuhan. Salah satunya, saat Hoegeng dijadikan sasaran penembak jitu (sniper) ketika bertugas di kawasan pinggiran hutan di Kota Medan. Namun, Hoegeng tak menceritakan dalam kasus apa dia dijadikan sasaran tembak. Hoegeng juga tak menceritakan siapa pelaku penembakan tersebut.”

Hoegeng bercerita dirinya pernah ditembaki sniper. Untungnya tak ada yang mengenai sasaran. Rupanya Hoegeng dijadikan sasaran tembak karena Hoegeng tak mau kompromi. Hoegeng memang lolos dari maut, tetapi pelaku penembakan juga tak berhasil ditangkap karena melarikan diri,” tulis Suhartono dalam buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan (2014).

Karier Moncer

Selepas bertugas di Medan, Karier Hoegeng jadi moncer.  Ia dipercaya Soekarno untuk mengisi Kepala Jawatan Imigrasi (1960-1964). Sekalipun jauh dari unsur kepolisian, Hoegeng tetap menjalankan dengan baik. Karenanya, ia dipercaya menjadi Menteri Iuran Negara (1964-1966), dan Menteri Sekretaris Presedium Kabinet (1966). Puncaknya Hoegeng menjadi Kapolri (1968).

Kiprahnya sebagai kapolri tak kalah mentereng. Ia banyak menyelesaikan kasus-kasus besar. Sosoknya pun semakin dikenal sebagai figur yang tak bisa disetir. Bahkan, hingga Hoegeng menghembuskan nafas terakhirnya pada 14 Juli 2004 di RSCM. Ia pun dikenang sebagai manusia langka.

“Keuletan menuntaskan kasus besar itu menyebabkan Hoegeng diberhentikan oleh Presiden Soeharto walau masa jabatannya sebetulnya belum berakhir. Sebelumnya Hoegeng juga merintis pemakaian helm bagi pengendara kendaraan bermotor yang ketika itu menjadi polemik. Kini terasa bahwa instruksi itu memang bermaaf,” tutup Sejarawan Asvi Warman Adam dalam buku Menguak Misteri Sejarah (2010).