JAKARTA - Ketertarikan Bacharuddin Jusuf Habibie terhadap ilmu pengetahuan tiada dua. Ia tumbuh sebagai pribadi yang skeptis. Apalagi ia terlahir dalam keluarga yang peduli pendidikan. Segala kebutuhan Habibie belajar acap kali dipenuhi.
Begitu pula untuk hobinya. Orang tuanya tak pernah membatasi hobi Habibie. Termasuk saat anak muda gandrung dengan permainan sepatu roda. Permainan itu jadi kegemaran Habibie saat senggang. Dari masa kanak-kanak hingga merantau ke Makassar dan Bandung.
Benih-benih kejeniusan Habibie (kemudian: dikenal sebagai Presiden RI ke-3) telah terlihat sejak kecil. Anak keempat dari sembilan bersaudara ini tumbuh sebagai sosok yang cerewet. Segala macam pertanyaan mampu dilontarkan kepada siapa saja. Demi memuaskan rasa ingin tahu, pikir Habibie.
Ayahnya, Alwi Abdul Jalil Habibie senang sang anak tumbuh dengan skeptisme yang tinggi. Tiap kali Habibie bertanya, ayahnya selalu berusaha menjawab. Penjelasan-penjelasan dengan contoh yang mudah dipahami jadi ajiannya.
Kadang kala ayahnya dapat menjawab mulus. Kadang pula sedikit kewalahan. Namun, ayahnya tak pernah lelah. Pun ia bersama istrinya, Raden Ayu Tuti Marini Puspowardojo dengan giat membekali Habibie dengan kemampuan tambahan: baca-tulis.
Keterampilan itu membuahkan hasil. Skeptismenya terhadap ilmu pengetahuan langsung teralihkan kepada buku-buku. Ia dapat duduk berjam-jam demi melahap habis isi buku. Dari buku cerita hingga ensiklopedia. Orang tuanya pun tak lupa memfasilitasi segala keperluan anaknya dalam belajar. Buku-buku yang diinginkan oleh Habibie dibelinya.
Sebagai penyeimbang, orang tuanya pun menyeimbangkan memberikan Habibie ruang bermain yang sama besarnya. Habibie dibebaskan menjalankan segala macam permainan yang memiliki tantangan lebih. Alias sebuah permainan yang membutuhkan tantangan lebih untuk ditaklukkan, atau memiliki muatan kompetisi.
“Kebiasaan Habibie lainnya adalah suka bermain dengan permainan yang ada tantangannya. Misalnya, ketika sedang bermain di tepi pantai yang tidak jauh dari rumahnya, Habibie kecil membuat istana yang terbuat dari pasir. Ketika ombak besar datang maka istana yang dibangunnya itu pun hancur. la berusaha mencari tahu penyebabnya.”
“Habibie juga biasa bermain catur sendiri. Ia merasa dan menganggap bahwa hal yang lebih sulit dalam bermain catur adalah mengalahkan dirinya sendiri. Intinya, dari setiap permainan yang dilakukannya, Habibie selalu berusaha mencari pokok permasalahannya,” ungkap Jonar T. H. Situmorang dalam buku B.J. Habibie, Si Jenius (2017).
Sepatu Roda Habibie
Pengetahuan Habibie semakin bertambah seiring waktu. Demikian pula hobinya. Habibie semakin tertantang mencoba ragam permainan baru. Apalagi, saat demam bermain sepatu roda melanda Nusantara pada era 1940-an. Ia pun tak ketinggalan dibekali oleh orang tuanya sebuah sepatu roda. Sekalipun bermain sepatu roda adalah permainan yang cukup eksklusif di zamannya.
Kebiasaan bermain sepatu roda itu terbawa saat ia pindah dari Pare-Pare menuju Makassar pada 1945. Kedatangan Habibie ke Makassar tak lain untuk menyusul kakak-kakaknya menuntut ilmu. Sebab, di Pare-Pare sekolah yang berkualitas tak banyak. Saban sore, Habibie dan kawan-kawannya yang lebih tua kerap memainkan sepatu roda.
“Saya senang tinggal di rumah Pak Supardi (bapak kos di Makassar)karena lingkungannya nyaman, di sini saya meneruskan kebiasaan saya bermain sepatu roda dengan kawan-kawan saya yang lebih tua,” cerita Habibie sebagaimana ditulis A. Makmur Makka dalam buku biografinya Mr. Crack dari Pare-Pare (2018).
Habibie yang biasa disapa Rudy mulai keranjingan bermain sepatu roda. Ia merasakan adrenalinnya meningkat ketika bermain sepatu roda. Pun bermain sepatu roda penuh dengan tantangan. Melewati jalan-jalan berlubang, salah satunya. Karenanya, Habibie sering kali memilih bermain sepatu roda ketimbang bermain sepeda.
Penuturan itu sendiri muncul dari adik kandung yang juga sabahat sejatinya, Junus Effendi Habibie (Fanny Habibie). Ia menuturkan sekalipun dirinya dan Habibie sama-sama memiliki sepeda ketika telah pindah dan bersekolah di Bandung, Habibie tetap memilih bermain sepatu roda. Sedang Fanny tetap setia memilih bermain sepeda.
Kemampuan Habibie dalam bermain sepatu roda cukup mempuni. Aksinya meliuk-liuk dengan sepatu roda sering kali mengundang decak kagum. Bahkan, orang-orang yang kerap menonton aksinya bersepatu roda sampai bertepuk tangan.
BACA JUGA:
“Di Bandung, Rudy masih suka main Meccano. Hobinya memang tak berubah dari dia kecil. Kalau ada uang, Rudy akan membeli Meccano. Mainan yang berbahan baja ini memiliki clemen gigi penggerak lengkap dengan elemen mesinnya sehingga dapat membuat berbagai konstruksi, seperti robot dan alat angkat bangunan. Meccano yang dibelinya itu kemudian dirakit menjadi pesawat udara.”
“Rudy juga banyak menghabiskan waktunya bersepatu roda. Sepatu roda saat itu tak banyak dimiliki orang. Hampir setiap sore, Rudy bermain separu roda di Jalan Imam Bonjol. Keterampilannya menuruni jalan, meliuk-liuk menghindari lubang-lubang kecil di Jalan Imam Bonjol itu kerap mengundang decak kagum dan tepuk tangan mereka yang menyaksikan,” tutup Gina S. Noer dalam buku Rudy: Kisah Masa Muda Sang Visioner (2015).