JAKARTA – Sejarah hari ini, 44 tahun yang lalu, 12 April 1979, Masjid Hatta-Sjahrir di Banda Neira diresmikan oleh pihak keluarga masing-masing pendiri bangsa. Pihak keluarga Bung Hatta diwakili oleh Meutia dan Halida Hatta. Pihak keluarga Sutan Sjahrir diwakili oleh istrinya, Siti Wahyunah Sjahrir (Poppy).
Kehadiran masjid itu jadi bukti eksistensi Hatta dan Sjahrir yang dicintai seisi Banda Neira. Sebelumnya, Hatta dan Sjahrir pernah dianggap sebagai tokoh radikal oleh penjajah Belanda. keduanya diasingkan ke Banda Neira untuk meredam perlawanan.
Hatta dan Sjahrir adalah sosok tokoh bangsa yang loyal terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Keduanya sama-sama matang di Belanda. Hatta melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Dagang di Rotterdam. Sjahrir sendiri memasuki Fakultas Hukum Universitas Leiden.
Selama di Belanda itulah kedua tokoh itu semakin akrab. Visi misi keduanya tak jauh berbeda. Mereka menggelorakan semangat perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme. Bahkan, gebrakan mereka sempat mengganggu pemerintah Belanda.
Perjuangan keduanya membawa kesadaran kemerdekaan terus berlanjut ketika pulang ke Nusantara. Keduanya aktif bersuara dari mimbar ke mimbar. Pun mereka bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI Baru) yang kemudian jadi kendaraan politik.
Namun, kehadiran keduanya dalam peta perjuangan melawan kolonialisme membuat Belanda geram. Pemerintah kolonial Hindia Belanda pun bersiasat. Kedua lalu ditangkap dan diasingkan. Mereka mulanya diasingkan ke Boven Digoel.
Kemudian, mereka dipindahkan ke Banda Neira pada 1934. Di sana, keduanya hidup sedikit tenang, dibanding Boven Digoel. Bahkan, Hatta dan Sjahrir sepakat Banda Naira adalah tempat pembuangan yang paling diingat mereka sepanjang hidup.
“Di Banda Neira ia (Sjahrir) tetap setia membaca dan menulis, dan sering pula mengupas masalah-masalah sastra dan budaya, Dalam salah satu polemiknya tentang sastra dengan Saudara J. Tatengkeng, yang kemudian menjadi anggota Partai Sosial Indonesia (PSI) di Ujung Pandang, dapat dilihat berapa jauh dan dalam pengetahuannya dalam bidang sastra dan budaya.”
“Setelah hampir 6 tahun dalam pengasingan di Neira itu, bersama sama Bung Hatta dan 4 orang anak angkat, dia dipindahkan oleh Belanda ke Sukabumi, ditempatkan dalam Asrama Polisi di sana. Waktu kepindahan itu adalah sehari sebelum Ambon jatuh dalam serangan Jepang, dan Bomber yang mengangkut mereka adalah satu-satunya sisa dari 6 buah Bomber yang ditempatkan di Ambon oleh Belanda,” terang Rosihan Anwar dalam buku Mengenang Sjahrir (2013).
Pemerintah Indonesia pun tak lantas melupakan jasa Bung Hatta dan Sjahrir dalam peta perjuangan bangsa. Keduanya abadi dalam tiap sanubari segenap rakyat Indonesia. Pun kemudian empunya kuasa mengubah nama salah satu masjid tertua di Banda sebagai Masjid Hatta-Sjahrir.
Masjid yang berada di depan pintu masuk-keluar Banda Neira itu diresmikan oleh keluarga dua tokoh bangsa. Mereka adalah Siti Wahyunah Sjahrir, Meutia, dan Halida Hatta pada 12 April 1979. Masjid Hatta-Sjahrir pun hadir sebagai jejak penting bahwa Bung Hatta dan Sjahrir pernah menjadi bagian penting dari Banda Neira.
“Sebagaimana sudah saya ceritakan di atas, keberadaan masjid ini adalah untuk mengenang Hatta sebagai tokoh bangsa yang pernah membangun Banda Neira. Masjid Hatta yang berada persis di depan pintu masuk-keluar pelabuhan Banda Neira ini diresmikan oleh Siti Wahyunah Sjahrir, Meutia, dan Halida Hatta pada 12 April 1979.”
“Sebagaimana masjid-masjid lain di Banda, arsitektur Masjid Hatta-Sjahrir ini cukup indah. Bangunan tua masjid ini tetap dipertahankan meski ada beberapa tempat yang sud mengalami renovasi. Di luar kubah utama terdapat menai kecil. Di salah satu menara diletakkan pengeras suar Pengeras suara ini berfungsi untuk memanggil seluruh warga masyarakat untuk shalat berjamaah di masjid,” cerita Brillianto K. Jaya dalam buku Surga di Timur (2014).