Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 93 tahun yang lalu, 25 Juni 1930, pemerintah kolonial menghukum perintis kemerdekaan Indonesia, Iwa Kusumasumantri. Belanda memilih mengasingkan sosok pejuang itu ke Banda Neira. Langkah pengasingan diambil Belanda karena Iwa dianggap radikal dan pemberontak.

Sebelumnya, Iwa dianggap sebagai pejuang kemerdekaan yang memiliki andil besar dalam sejarah bangsa. Tindak-tanduknya melawan Belanda tiada dua. Kritiknya kerap membuat eksistensi Belanda terganggu.

Iwa adalah salah satu sosok yang beruntung. Ia mampu mengenyam pendidikan di era pemerintah kolonial Hindia Belanda. Bahkan, orang tua memiliki cita-cita tinggi. Mereka berharap Iwa dapat menjadi pangreh praja (pejabat lokal).

Ia pun disekolahkan di Opleiding School Voor Indlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Bandung. Namun, Iwa merasa sekolah itu kurang cocok dengannya. Ia melihat bekerja dengan Belanda adalah sesuatu yang salah. Penjajah tak perlu dibantu.

Iwa pun memilih jalannya sendiri. Ia memilih membawa dirinya masuk sebagai bagian dari Sekolah Tinggi Hukum Batavia, Rechtshoogeschool (RHS). Ia merasa nyaman belajar di RHS. Sebab, ia memiliki banyak teman yang memiliki cita-cita sama: Indonesia merdeka.

Iwa Kusumasumantri (kedua dari kanan searah jarum jam) dalam sebuah rapat. (Dok. Perpustakaan Nasional)

Pergerakan Iwa memperjuangkan kemerdekaan Indonesia makin menyala di negeri Belanda. Di sana, ia berkawan dengan banyak pejuang kemerdekaan lain. Iwa tergabung dalam Indische Vereeniging yang kemudian dikenal sebagai Perhimpunan Indonesia (PI).

Narasi kemerdekaan Indonesia mulai disuarakan di luar negeri lewat PI. Perkumpulan itu terus melanggengkan propaganda terkait kemerdekaan Indonesia. Ia lalu diberikan mandat oleh PI untuk mempelajari front persatuan di Uni Soviet. Suatu front yang lihai mengurus perihal merapatkan barisan internasional melawan penjajahan.

“Ada potret Bung Hatta di Negeri Belanda -- masih muda, tahun 1920an. Ada potret Moh. Roem, juga di sana. Ada juga Ali Sastroamidjojo. Ahmad Subardjo. Iwa Kusumasumantri, Sjahrir, dan banyak lagi. Terpampang di buku-buku sejarah atau memoar pribadi, potret-potret itu selalu menggambarkan wajah-wajah yang belia, dengan pakaian rapi dan semua muka menghadap lensa, serta sorot mata yang mewakili semangat muda yang mantap.”

“Kesan yang selalu tertangkap: kehidupan intelektual yang sedang digembleng, sekalipun peruangan tanah air dari negeri orang. Dan memang, Negeri Belanda-lah yang merupakan kancah pertama para mahasiswa kita (istilah waktu itu: pelajar) yang berjuang. Di sana pada 1908 dibentuk Indische Vereeniging, kemudian menjadi Indonesische Vereeniging dan terakhir Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda, perkumpulan yang pertama kali mempropagandakan kemerdekaan republik,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Kisah Mahasiswa Indonesia di LN (1981).

Bekal ilmu dari negeri Belanda dimanfaatkan maksimal oleh Iwa. Agenda mengganggu eksistensi pemerintah kolonial Hindia Belanda jadi rutinitasnya. Pandangan dan kritiknya dalam berbagai medium mampu membakar amarah Belanda.

Iwa Kusumasumantri (duduk tengah) bersama rekan-rekannya di Perhimpoenan Indonesia. (Creative Commons)

Ia kemudian dicap radikal. Belanda pun ingin menangkapnya. Mereka ingin pengaruh Iwa dalam dunia pergerakan segera dihilangkan. Opsi mengasingkan Iwa pun dipilih. Puncaknya, Iwa dihukum pengasingan ke Banda Neira pada 25 Juni 1930. Di sana Iwa nantinya berjumpa dengan pejuang kemerdekaan lainnya seperti Tjipto Mangoenkoesoemo, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir.

“Iwa pulang ke Tanah Air setelah 5,5 tahun merantau di Eropa. Mula-mula ia bekerja di Bandung, tetapi tak lama kemudian ia diminta pamannya membuka kantor pengacara di Medan. Di kota ini, Iwa aktif dalam pergerakan dengan membuat surat kabar serta mendekati kaum buruh dan tani yang tertindas.”

“Akibat aktivitas ini, 25 Juni 1930 Iwa dibuang ke Banda Neira. Ia dituduh berupaya menggulingkan kekuasaan yang sah" (aanslag tot omverwerping van het wettig gezag). Di pulau inilah akhirnya Iwa terasing selama 10 tahun lebih,” ujar Sejarawan Asvi Warman Adam dalam buku Membongkar Manipulasi Sejarah (2009).