JAKARTA - Pemerintah kolonial Hindia Belanda tak pernah benar-benar mengelola penjara. Pelayanan maksimal hanya dilanggeng ke kelas atas saja, sedang orang Eropa miskin dan bumiputra tak mendapat apa-apa. Praktik suap (pungli) pun langgeng karenanya.
Mereka yang mau membayar lebih akan mendapatkan pelayanan maksimal. Praktik itu sudah jadi rahasia umum. Sebab, siapapun opsir atau sipir akan menganggap uang sebagai atasan barunya. Urusan kesetiaan kepada penguasa boleh jadi nomor sekian tak terlalu penting.
Citra penegakan hukum ala maskapai dagang Belanda, VOC tak pernah baik. Mereka melanggengkan keputusan hukum sesuai titah penguasa, bukan ahli hukum. Itupun pejabat tinggi kerap melanggengkan intervensi hukuman kepada orang yang dituduh pelaku kejahatan.
Alhasil, hukuman hanya berkutat dengan vonis hukuman mati atau hukuman penjara. Masalah tak lantas selesai sampai situ. Urusan masuk penjara bukan perkara gampang. Kondisi penjara yang jauh dari kata layak jadi muaranya.
Keterbatasan pengawas yang menjaga masih terbatas pun muncul sebagai masalah lainnya. Kondisi itu membuat penjara bak jala. Banyak lubang-lubang yang bisa diakses para tahanan untuk kabur. Namun, angin perubahan mulai berhembus kala VOC berganti kuasa dengan pemerintah Hindia Belanda.
Empunya kuasa mulai membuat struktur dan pangkat yang jelas bagi petugas penjara. Tiap-tiap penjara akan dipilih petugas yang akan mengisi jabatan direktur, sipir, atau opsir. Fungsi itu membuat pekerjaan menertibkan penjara jadi mudah.
Kehadiran pengawas itu membuat empunya kuasa dapat dengan luwes membedakan mana tahanan bumiputra dan mana tahanan Eropa. Tahanan Eropa kelas atas akan diperlakukan dengan sedikit lebih layak. Sedang kaum bumiputra diperlakukan bak penjahat kelas berat. Padahal, kejahatan yang dilakukan kaum bumiputra dan orang Eropa sering kali tak jauh beda.
“Maka tiap-tiap penjara itu ada pegawainya yang ditetapkan oleh negeri yang berpangkat direktur, sipir, atau opsir. Pegawai-pegawai ini menjaga akan kerapian dan kebersihan peralatan dalam penjara itu sebagai yang dihendakkan oleh negeri, supaya dipersujudkannya dengan sémestinya.”
“Mereka pegawai itu patut membikin satu daftar dari nama orang-orang yang terbui itu, dan mengamati barang siapa di antara orang hukuman itu sudah tidak baik kelakuannya maka patut ia memberi tahu satu ini pada kepala afdeeling (setingkat kabupaten) yang dikuasakan menyiksa orang itu. Maka siksa kerja paksa, yang kurang daripada setahun harus dlitanggung di mana tempat yang dia orang sudah terhukum,” Tulis Tirto Adhi Soerjo sebagai dikutip Iswara N. Raditya, Muhidin M. Dahlan dalam buku Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers, Pergerakan, dan Kebangsaan (2008).
Pungli di Penjara
Perlakuan buruk yang dialami tahanan era Hindia Belanda tak dapat dihindarkan. Apalagi jika tahanan tersebut berstatus sebagai kaum bumiputra. Status itu membuat tahanan bumiputra, apalagi orang Eropa miskin jadi objek amarah sipir maupun opsir penjara.
Namun, perlakuan itu bisa diantisipasi dengan ragam cara. Pertama, para tahanan harus pandai mengambil hati pegawas penjara. Kedua, tahanan melanggengkan praktek suap kepada pengawas. Upaya itu langgeng seiring waktu, bahkan sampai urusan pungli sudah jadi pemandangan biasa.
Praktek pungli pun dapat membuat kebanyakan sipir atau opsir yang awalnya membenci tahanan menjadi baik. Mereka bak jadi penjual jasa serba bisa. Semua karena banyak di antara pengawas penjara percaya uang adalah segalanya.
Segala macam kebutuhan tahanan. Dari Koran hingga makanan dapat dikabulkan. Pun urusan memperpanjang jam besuk tahanan. Banyak di antara pengawas penjara tak takut dengan atasannya. Sebab, urusan kesetiaan itu melulu ditunjukkan para pengawas penjara kepada mereka yang punya uang.
“Ada di antara petugas bangsa Belanda yang merasa, bahwa kami tidak patut dipersalahkan melakukan kejahatan, karena mencintai kemerdekaan. Merekapun bersikap rarnah kepada kami. Di samping itu, ia mau melakukan sesuatu asal diberi uang. Apa saja.”
“Bahkan tidak perlu diberi banyak‐banyak. Mula‐mula aku menyangka, bahwa mereka sangat takut pada jabatannya untuk mau menerima suap, tapi ternyata mereka ini termasuk dalam jenis yang rendah, yang mau mengkhianati prinsip‐prinsip mereka dengan sangat murah. Seharga sebotol bir,” ungkap Soekarno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014).