Kepekaan Bung Hatta dalam Toleransi Beragama
Bung Hatta bertemu Presiden Burma (kini Myanmar), Ba U di Yangoon pada 6 Oktober 1955. (Khastara/Perpusnas)

Bagikan:

JAKARTA - Tiada yang meragukan kedekatan Mohammad Hatta dengan Islam. Ia lahir dalam keluarga pengusaha dan ulama. Latar belakang itu membuatnya mampu mengimbangi antara belajar pendidikan barat dan agama Islam. Hasilnya Bung Hatta pun tumbuh jadi sosok yang penuh toleransi.

Ia mendukung penuh frasa Ketuhanan yang Maha Esa sebagai awalan Pancasila. Artinya, Bung Hatta menghormati seluruh aliran agama yang di Indonesia tanpa terkecuali. Baginya, Indonesia bak terlalu besar hanya untuk satu agama saja.

Keluarga adalah fondasi utama Bung Hatta mengenal Islam. Sedari kecil ia sudah dibimbing untuk mendalami dasar-dasar Islam. Dari pengenalan Al Quran, iman, hingga tauhid. Pelajaran agama pun turut dilanggengkan dibanyak tempat.

Hatta sampai dicarikan guru agama. Semua dilakukan supaya kelak Hatta dapat menjadi pemimpin yang dekat dengan Tuhan dan bertanggung jawab. Namun, kedekatan Hatta dengan ilmu agama tak membuat pendidikan lainnya dilupakan.

Bung Hatta (kedua dari kiri) saat bergabung dengan organisasi Perhimpoenan Indonesia di Belanda pada 1926. (Wikimedia Commons)

Keluarga Hatta juga turut mementingkan pendidikan barat. Pendidikan barat dilanggengkan di pagi hari. Sedang pendidikan agama –baca Al Quran dan lainnya dilakukan sehabis magrib. Langkah itu untuk mengimbangi ilmu yang didapat Hatta. Hasilnya berdampak besar bagi tumbuh kembang Bung Hatta.

Ia tumbuh menjadi pribadi yang cerdas. Ia mengenal makna dari kegigihan, kejujuran, kemandirian, dan yang paling penting toleransi. Kepekaannya akan toleransi keberagaman dilihatnya dari kondisi Nusantara yang memiliki ragam suku bangsa hingga agama.

Bung Hatta memahami bahwa Indonesia beragama, bukan seragam. Narasi itu sesuai dengan nilai dari Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi satu jua. Toleransi itu adalah kekuatan sesungguhnya dari Indonesia.

Alhasil, Bung Hatta mendukung perubahan narasi dalam penyusunan dasar negara, Pancasila. Hatta dan kaum ulama mendukung narasi Ketuhanan yang Maha Esa jadi yang utama dengan menghilangkan embel-embel kalimat: dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya.

Bung Hatta bersalaman dengan Bung Karno. (ANRI)

Baginya, kalimat yang dihilangkan itu adalah hadiah dan toleransi terbesar umat Islam kepada agama lain. Utamanya, agama minoritas.

“Persoalan dasar negara dan UUD 1945 menunjukkan toleransi Muslim terhadap agama lain. Moh. Hatta bahkan mengatakan, UUD 1945 adalah toleransi terbesar dari pimpinan Islam, terutama Ki Bagus Hadikusumo, meskipun semangat Piagam Jakarta tidak hilang sepenuhnya dan masih melekat di Pancasila.”

“Akhirnya, dalam waktu singkat, tercapai kesepakatan untuk melakukan perubahan pada teks UUD 1945. Indonesia tetap didasarkan pada kepercayaan terhadap Tuhan, tetapi ‘tujuh kata’ diganti dengan Ketuhanan yang Maha Esa. Keharusan beragama Islam bagi presiden akhirnya dihapus,” terang Ridho Al-Hamdi dalam buku Paradigma politik Muhammadiyah (2020).

Berkawan dengan Ulama Ahmadiyah

Sikap Bung Hatta terhadap toleransi terus diamalkannya dalam setiap kondisi. Ia berkali-kali menerangkan Indonesia terlalu besar untuk satu agama. Sebab, kunci kedaulatan Indonesia adalah dukungan masyarakat dalam bentuk rasa tanggung jawab dan sifat tolerasi.

Suatu sikap yang membuat rakyat golongan besar (Mayoritas) mau menerima kehadiran rakyat golongan terkecil (minoritas). Amalan terkait toleransi tak melulu keluar dari mulut Hatta saja, sikap Hatta pun demikian.

Persahabatannya dengan ulama kelompok minoritas Ahmadiyah, Sayyid Shah Muhammad, contohnya. Keduanya telah berkenalan semenjak Ibu Kota Negara pindah ke Yogyakarta pada masa revolusi. Keduanya kerap bertemu dan bertukar pikiran.

Bung Hatta pun tak segan-segan bertanya mengenai perkembangan kegiatan dakwah Ahmadiyah di seantero negeri kepadanya. Keduanya kerap bertukar buku bacaan terkait Islam dan perkembangannya. Bung Hatta tak mempermasalah Sayyid berada dalam kelompok Islam minoritas.

Bung Hatta, dalam suatu kesempatan menerima Al-Qur’an terbitan Ahmadiyah yang diberikan oleh Wakil-ut Tabshir. (ahmadiyah.id)

Kedekatan itu terus berlanjut hingga Indonesia merdeka. Sayyid kerap berjumpa dengan Bung Hatta. Apalagi kala Bung Hatta terbaring sakit. Kala itu, satu-satunya hiburan Bung Hatta kala sakit adalah buku-buku dan Sayyid mengetahui hal itu.

Sayyid lalu membawa buku-buku yang dapat menghibur Bung Hatta. Bahkan, sampai 20 buku. Dari Introduction to the Study of the Holy Quran, Life of the Holy Prophet Muhammad, Message of Ahmadiyah, hingga Islam and Communism.

Demikian pula kala Sayyid sakit. Hatta akan langsung menjenguknya. Sayyid pun menyebut Bung Hatta sebagai perwujudan sejati umat Islam. Seseorang yang bersedia datang kala melihat rekan-rekannya yang jatuh sakit untuk memberikan semangat. Pun persahabatan keduanya adalah bentuk sikap toleransi sejati.

“Pada ranah pergaulan hidup kemasyarakatan, Bung Hatta menunjukkan kesejatiannya tentang paham Ketuhanan yang berperikemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari. Selain yang telah digambarkan pada bagian terdahulu, Bung Hatta juga menjalin hubungan saling mengasihi dengan tokoh Ahmadiyah, Sayyid Shah Muhammad Al-Jaeni, yang menjadi anggota Panitia Pemulihan Pemerintahan RI Pusat pimpinan Ki Hadjar Dewantara.”

“Saat dwi-tunggal Soekarno-Hatta diasingkan ke Pulau Bangka, Sayyid mengirimi Hatta buku-buku terbitan Jamaah Ahmadiyah. Sayyid juga menjenguk Bung Hatta saat sakit dan dirawat di RS Cipto Mangunkusumo sambil membawa sejumlah buku, karena tahu Bung Hatta sangat gemar membaca. Pada 1976, Sebaliknya, Hatta datang menjenguk saat Sayyid sakit jantung dan Harus dirawat di RS Cipto Mangunkusumo,” ungkap Yudi Latif dalam buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (2014).