Bagikan:

JAKARTA - Hubungan antara Indonesia-Jepang sempat jatuh dalam titik terendah. Jepang pernah menjajah Indonesia. Namun, keduanya tak ingin berlarut-larut saling memusuhi. Kesepakatan damai pun dilanggengkan. Hasilnya gemilang. Hubungan Jepang dan Indonesia kian mesra.

Pada era Orde Baru (Orba), misalnya. Presiden Soeharto dan Kaisar Akihito bak dua orang sahabat. Keduanya saling berkunjung dan memberikan hadiah unik: Ikan. Diplomasi ikan itu kemudian jadi simbol hangatnya hubungan kedua negara.

Kenangan penjajahan Jepang tak mudah dilupakan dalam benak kaum bumiputra. Jepang bertindak beringas dengan menjadikan kaum bumiputra pekerja paksa. Mereka dipekerjakan dalam segala bidang. Dari urusan perang hingga berahi.

Masa itu jadi salah satu fase tergelap dalam sejarah bangsa Indonesia. Kebencian pun terbangun karenanya. Alih-alih memandang Jepang sebagai Saudara Tua, kaum bumiputra memandangnya tak lebih dari negara penindas.

Kaum bumiputra merasa ditipu dan diterlantarkan oleh Jepang. Kondisi itu berlangsung hingga Indonesia merdeka. Buahnya, Rakyat Indonesia tak ingin lagi memiliki hubungan dengan Jepang. Narasi itu dilantunkan karena tiada tuan rumah yang mampu berdamai dengan pencuri (penjajah).

Kaisar Akihito dan Putri Michiko. (Wikimedia Commons)

Kondisi itu nyatanya tak bertahan lama. Kedua negara akhirnya mencoba mengakhiri perseteruan itu dengan bersepakat damai di masa pemerintahan Bung Karno dan Orde Lama. Jepang ingin berdamai dengan Indonesia. Begitu pula sebaliknya. Kebencian yang mendarah daging harus diakhiri, katanya.

Kedua negara bersepakat untuk menandatangi dua buah perjanjian. Pertama, perjanjian damai. Kedua, perjanjian pampasan perang. Keputusan itu membuat Indonesia untung besar. Indonesia dapat banyak membangun karena mendapatkan suntikan dana besar dari Jepang. Karenanya, kedua perjanjian itu jadi pintu awal terjalinnya hubungan baik antara Indonesia dan Jepang.

“Pada tanggal 9 Desember 1957 disusun draf perjanjian pampasan, dan akhirnya pada tanggal 20 Januari 1958 dokumen perjanjian ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Fujiyama Aiichiro dan Subandrio. Perjanjian pampasan perang tahun 1958 adalah bagian atau turunan dari perjanjian San Fransisco 1951. Dua perjanjian ini menjadi pijakan baru dalam berhubungan antara Indonesia dan Jepang secara bilateral setelah selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya hubungan dengan Indonesia bukan dianggap sebagai Indonesia tetapi sebagai negara Hindia Belanda di bawah jajahan Belanda.”

“Perjanjian ini terbagi dua, yang pertama perjanjian damai dan yang kedua perjanjian pampasan perang. Untuk perjanjian damai, mengatur hal-hal yang terkait keinginan untuk mengakhiri status perang dan menciptakan situasi damai antara dua negara. Perjanjian ini berisi tujuh pasal, dan pampasan perang yang harus dibayarkan oleh Jepang diatur dan diterakan di dalam pasal 4 dalam perjanjian tersebut,” ungkap Moh. Gandhi Amanullah dalam buku Matahari Khatulistiwa: Hubungan Indonesia - Jepang dalam Perspektif Sastra dan Sosial Budaya (2020).

Diplomasi Ikan

Kedekatan hubungan Indonesia-Jepang juga berlanjut di era Soeharto dan Orde Baru. Presiden Soeharto menganggap Akihito bak sahabat. Keakraban itu muncul dari saling berkunjung kedua tokoh bangsa. Sekalipun, kala itu Akihito yang berstatus pangeran lebih dulu menginjakkan kaki ke Indonesia di era Orde Lama pada 1962. Ia lalu dihadiahi oleh Pemerintah Indonesia 60 ikan mas kumpay yang dikirim langsung dari Bogor ke Jepang.

Soeharto sebaliknya. Ia baru dapat melawat ke Jepang saat Ia resmi menjabat Presiden Indonesia. Kunjungan Soeharto yang paling berkesan bagi Pangeran Akihito adalah kala ia melawat pada 1989. Tahun itu Soeharto datang menyampaikan rasa belasungkawa atas meninggalnya ayah Akihito, Kaisar Hirohito.

Semenjak itu kedekatan Soeharto dan Akihito yang kemudian naik takhta jadi Kaisar terus terbangun. Puncaknya, kedekatan itu terlihat pada kunjungan Kaisar Akihito pada 3 Oktober 1991. Kedatangannya di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta disambut dengan gegap gempita.

Indonesia sebagai tuan rumah siap sedia menyediakan akomodasi bagi 50 anggota rombongan. Peristiwa itu bahkan diliput oleh 80 orang jurnalis dalam dan luar negeri. Dari radio hingga televisi. Rombongan pun segera diajak ke Istana Merdeka.

Soeharto dan Istrinya, Siti Hartinah (Ibu Tien) menyambut hangat kedatangan Kaisar Akihito dan Permaisurinya Michiko. Lagu kebangsaan Jepang Kimigayo dan lagu kebangsaan Indonesia, Indonesia Raya dimainkan secara bergantian. Acara itu juga turut dihiasi oleh 21 kali dentuman meriam.

Presiden Soeharto dan Ibu Tien saat berkunjung ke Jepang pada 1968 dan dijamu oleh PM Eisaku Sato dan istrinya, Nyonya Hiroko. (Jiji)

Kaisar Akihito pun tak ingin dianggap sekedar tamu belaka yang melulu dilayani. Ia pun turut membawa hadiah spesial untuk Presiden Soeharto. Hadiah itu adalah ikan hasil persilangan antara Ikan Mas Kumpay Indonesia dengan ikan hias Jepang, koi.

Kehadiran ikan itu jadi reprentasi hangatnya hubungan antara Indonesia-Jepang. Orang-orang kemudian memandang diplomasi ikan sebagai perekat persahabatan antara Soeharto dan Kaisar Akihito. Apalagi, pemberian haidah ikan dari Jepang adalah momentum yang pertama kali terjadi selama Soeharto jadi Presiden Indonesia.

“Seusai mengadakan kunjungan kehormatan, mereka kemudian menuju ruang utama Istana Merdeka. Kaisar Akihito di ruangan itu menyerahkan cinderamata yang berupa ikan emas hasil persilangan kumpay dari Bogor dengan karper hias Jepang, koi. Persilangan atas inisiatif Kaisar Akihito sendiri beberapa tahun belakangan setelah mengunjungi Balai Penelitian Perikanan Darat-Bogor.”

“Cinderamata berupa ikan mas ini baru pertama kali diterima Pak Harto dari sekian banyak kunjungan kenegaraan yang dilakukan kepala negara atau kepala pemerintahan, Kaisar Akihito menjelaskan langsung tentang budidaya ikan air tawar di Jepang, termasuk bagimana cara penangkarannya. Ikan itu, kata Akihito, merupakan lambang kerjasama antara Indonesia dan Jepang dalam usaha mengembangkan bidang perikanan,” tertulis dalam laporan Majalah Dharmasena berjudul Kunjungan Kaisar Akihito di Indonesia (1991).