Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 45 tahun yang lalu, 17 April 1978, Cendikiawan Muslim, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menuliskan kritiknya kepada umat Islam dalam kolom Majalah Tempo. Gus Dur meminta umat Islam tidak masa bodoh dengan korupsi yang dilakukan pejabat Orde Baru (Orba).

Umat Islam harus bersatu melawannya. Sebelumnya, korupsi era Orde Baru dilanggengkan secara masif. Korupsi telah menjangkiti semua level. Dari atasan hingga bawahan. Kondisi itu yang membuat sebagian besar rakyat Indonesia tak sejahtera.

Laku hidup pejabat era Orba kerap bersentuhan dengan korupsi. upaya untuk memperkaya diri sendiri dengan jalur korupsi sudah menjadi hal biasa. Semua itu terjadi karena korupsi sudah merasuk dalam segala macam level. Dari atasan hingga bawahan.

Ajian korupsinya pun macam-macam. Tukar barang, tukar otoritas, administrasi ganda, jual beli jabatan, hingga retorika birokrasi. Mereka melanggengkan korupsi karena kesempatan itu terbuka lebar. Apalagi pemerintah bak tak peduli dengan aktivitas merugikan negara.

Pejabat kelas atas hanya meminta bawahannya untuk jujur. Imbauan saja, tak lebih. Masalah muncul ketika pejabat kelas atas itu tak memberi contoh bagaimana hidup jujur. Alhasil, imbauan jadi berantakan. Pun narasi itu pernah didengungkan langsing oleh Presiden Soeharto.

Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. (nu.or.id)

Semua berubah ketika Soeharto justru ikut memberikan keluarganya memegang ragam bisnis strategis pemerintah. Contoh itu kemudian membuat korupsi merajalela. Sekalipun ada tindakan, Soeharto hanya sibuk untuk terus memperbaiki citra pemerintah.

Penegakan hukum terhadap koruptor sama sekali tak terdengar. Pejabat hanya diminta untuk tidak berlaku mewahan-mewahannya. Hasilnya korupsi semakin menjamur. Padahal kalau mau, Soeharto memiliki wewenang besar untuk mengatur segala macam hal. Tiada yang tak mungkin baginya.

“Berbagai kasus korupsi dikamuflase dengan metode Ges: tukar barang, tukar otoritas, administrasi ganda, retorika birokrasi, tanpa ketahuan. Dan ternyata orde sesudah reformasi tidak kalah Orba dibanding Orde Lama. Pencurian kayu hutan di sebuah kabupaten di JawaTengah meningkat 300 persen sesudah Orba. Orba adalah periode monopoli pencurian.”

“Reformasi adalah desentralisasi korupsi. Di zaman Orba iblisnya jelas, sesudahnya iblis setan berpakaian malaikat. Perusahaan-perusahaan besar di zaman Orba kalau harus kasih upeti, nomor rekeningnya jelas untuk dikirim tiap bulan,” terang Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam buku Jejak Tinju Pak Kiai (2008).

Kondisi Indonesia di tengah menjamurnya korupsi membuat Gus Dur berang. Ulama sekaligus aktivis itu meminta umat Islam segera melawan perilaku korup para penguasa Orba. Ia bahkan menuliskan kolom di Majalah Tempo khusus untuk membuka kepekaan umat Islam pada 17 Juni 1978.

Kolom itu berjudul Moralitas: Keutuhan & Keterlibatan. Dalam tulisannya, Gus Dur mengimbau umat Islam untuk tidak masa bodoh dengan perilaku koruptif pejabat. Jika korupsi dibiarkan maka pemiskinan bangasa akan melaju deras. Pejabat dapat uangnya, sedang rakyat hanya kecipratan janji-janji pemerintah belaka.

“Untuk memperbaiki kepincangan di atas, jelaslah kaum muslimin harus mampu dan berani mengadakan koreksi atas moralitas yang mereka hayati selama ini. Mereka tidak boleh bersikap masa bodoh terhadap kerusakan berat yang ditimbulkan dalam sikap dan pandangan hidup mereka oleh moralitas ganda yang ada.”

“Membiarkan terjadinya korupsi besar-besaran dengan menyibukkan diri dengan ritus-ritus hanyalah akan berarti membiarkan berlangsungnya proses pemiskinan bangsa yang semakin melaju. Sikap pura-pura tidak tahu menahu tentang upaya menegakkan hak-hak asasi manusia, untuk dicukupkan bersantai-santai dengan manifestasi keagamaan yang bersifat lahiriah belaka, tidak lain hanya berarti semakin tertundanya proses perataan kemakmuran,” terang Gus Dur dalam kolomnya.