Bagikan:

JAKARTA - Persahabatan Soekarno dan Nikita Khrushchev kerap berbuah manis. Soekarno mendukung politik Uni Soviet. Begitu pula Nikita mendukung pula politik Indonesia. Kedekatan kedua pemimpin negara itu bahkan terlihat dalam banyak momentum bersejarah.

Pembangunan kompleks olahraga Gelora Bung Karno (GBK), misalnya. Alih-alih Uni Soviet hanya muncul sebagai penyokong dana, Negara Beruang Merah itu turut membawa serta tenaga ahli dari negaranya. Alhasil, kehadiran mandor-mandor bule itu menyempurnakan pembangunan GBK.

Politik luar negeri Indonesia menggelora di bawah kuasa Orde Lama. Kepemimpinan Soekarno yang karismatik ada di baliknya. Bung Karno mampu menjelma menjadi sahabat negara-negara yang ada dunia.

Ia bahkan mampu berperan sebagai siapa saja. Dari seorang sahabat hingga bak Duta Besar (Dubes). Karisma itu membuat Bung Karno dekat dengan siapa saja. Perdana Menteri Uni Soviet, Nikita, apalagi.

Tokoh Uni Soviet itu memandang Soekarno bak pemimpin besar yang harus didukung. Begitu pula sebaliknya. Soekarno siap sedia mendukung segala macam agenda politik milik Nikita. Kedekatan keduanya terlihat pula dari saling balas kunjungan antara kedua pemimpin negara.

Wujud kemeriahan salah satu acara yang dilanggengkan di Stadion Utama GBK. (ANRI)

Bung Karno pernah melawat ke Uni Soviet selama 14 hari pada 1956. Nikita lalu membalas kunjungan dengan melanggengkan lawatan ke Indonesia selama hampir dua minggu. Lawatan-lawatan itulah yang banyak menghasilkan kesepakatan kerja sama.

Suatu kesepakatan yang menghasilkan simbiosis mutualisme di antara kedua negara. Hasilnya gemilang. Hubungan akrab Soekarno dan Nikita kerap dipandang sebagai representasi hangatnya hubungan Indonesia-Uni Soviet.

“Kesepakatan ini semakin mengukuhkan posisi Indonesia sebagai pemimpin Gerakan Non-Blok Kunjungan balasan tiga pejabat tinggi Uni Soviet ke Indonesia, termasuk Perdana Menteri Nikita Khrushchev pada 1960, menambah kuatnya persahabatan dua negara, Eratnya hubungan bilateral juga tercermin di bidang-bidang lain.”

“Tahun 1962, Uni Soviet memberi beasiswa kepada mahasiswa Indonesia. Tercatat tahun itu sekitar 700 mahasiswa Indonesia belajar di berbagai universitas di Negara Beruang Merah. Sejumlah perwira Angkatan Laut belajar di Vladivostok dan Leningrad. Di samping itu, kerja sama pembangunan pabrik baja Cilegon, Rumah Sakit Persahabatan, GBK, dan Patung Tani, semuanya membuktikan betapa kokohnya kerja sama kedua negara saat itu,” ujar Tomi Lebang dalam buku Sahabat Lama, Era Baru: 60 Tahun Pasang Surut Hubungan Indonesia-Rusia (2010).

Mandor Bule

Dukungan Uni Soviet kepada Indonesia hadir di segala lini. Perihal pembangunan, misalnya. Nikita dan Uni Soviet kerap mendukung agenda pembangunan infrastruktur di Indonesia. Apalagi, urusan proyek mercusuar milik sahabatnya, Bung Karno.

Ambil contoh kala Indonesia memiliki rencana membangun kompleks olahraga terbesar di Asia Tenggara. Namanya Kompleks Olahraga Senayan, kemudian dikenal Gelora Bung Karno. Pembangunan itu sengaja dilanggengkan Bung Karno untuk mendukung kesuksesan Asian Games IV pada 1962.

Soekarno berpandangan kehadiran GBK akan monumental. Sebab, kemegahan GBK dielu-elukan mampu membuat negara lain memandang Indonesia sebagai bangsa yang besar. Urusan dana pun tak jadi kendala, Uni Soviet bersedia memberi pinjaman sebesar 12,5 juta dolar AS.

Pembangunan GBK pun dimulai pada 1960. Namun, perencanaan GBK telah dilakukan jauh-jauh hari. Bantuan dari Uni Soviet kemudian membanjiri Jakarta. Alih-alih Uni Soviet hanya dibantu dana, Nikita juga ikut mengimpor tenaga ahlinya ke Indonesia.

Presiden Bung Karno berpidato di Stadion Utama GBK. (Wikimedia Commons)

Kehadiran mandor-mandor bule itu bukan dihadirkan untuk mendominasi. Sebab, tujuan utamanya adalah supaya tenaga ahli dari Indonesia dapat belajar dari mandor-mandor bule. semuanya supaya tenaga ahli Indonesia dapat mandiri dalam pembangunan monumental lainnya di masa depan.

Tenaga ahli Indonesia pun banyak terbantu dengan kehadiran mandor-mandor bule. Pengalaman dan pengetahuan mandor bule berguna bagi tenaga ahli Indonesia. Apalagi dalam pembangunan itu tenaga ahli kedua negara turut serta membangun stadion olahraga termegah di Asia Tenggara dengan 110 ribu penonton pada masanya. Alhasil, kehadiran GBK lalu jadi lambang persahabatan kedua negara.

“Di pihak lain, ahli-ahli Soviet: arsitek-arsitek, insinyur, teknisi, dan para pekerja bangunan dengan senang hati membagi pengetahuannya kepada rekan-rekan Indonesia. Mereka dengan muda menemukan titik persamaan sehingga kerja sama dalam pembangunan kompleks olahraga tersebut menjadi wadah keterampilan bagi tenaga ahli Indonesia.

"Rintangan bahasa dengan cepat diatasi. Makin hari makin lancar para tenaga ahli Indonesia bercakap dengan tenaga ahli Soviet, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Rusia,” terang Teknisi Uni Soviet R. Semerdjiev dalam buku Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno (2004).