Kado Ulang Tahun Presiden Soeharto dari PBB dalam Sejarah Hari Ini, 8 Juni 1989
Presiden Soeharto meninjau sebuah kegiatan Posyandu di Jonggol, Kabupaten Bogor, Jabar pada 10 Juni 1987. (ANRI/Setneg RI)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 34 tahun yang lalu, 8 Juni 1989, Presiden Soeharto mendapatkan kado ulang tahun yang spesial. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menganugerahinya penghargaan United Nation Population Awards (UNPA). Penghargaan itu diberikan kepada Soeharto karena ia mampu menekan angka pertambahan penduduk Indonesia.

Sebelumnya, Soeharto dan Orde Baru (Orba) berani tampil berbeda dengan pemerintahan Orde Lama. Jikalau Orde lama mendukung narasi keluarga dengan banyak anak, Orba justru sebaliknya. Dua anak cukup, katanya.

Narasi banyak anak banyak rezeki begitu mendominasi pikiran rakyat Indonesia di awal kemerdekaan. Urusan kesehatan dan masalah mental seorang wanita dihitung belakangan. Orde lama pun mendukung penuh hal itu.

Empunya kuasa menganggap pertambahan penduduk tak ubahnya sebuah kekuatan. Sebuah kekuatan untuk menjadi bangsa besar. Kuasa itu membuat siapa saja yang menggelorakan pembatasan kelahiran ditentang sana-sini.

Utamanya, mereka yang menggelorakan program Keluarga Berencana (KB). Mereka yang menggelorakan KB dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Belakangan narasi banyak anak banyak rezeki mulai direduksi gaungnya pada era Soeharto dan Orba.

Presiden Soeharto kala meninjau Pabrik Kondom Banjaran pada 1987. (Repro bukuSoeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya/1989)

Semua itu dibuktikan dengan dukungan penuh Orba terhadap program KB. Restu Soeharto terhadap pendirian Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN), kemudian dikenal sebagai Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) jadi bukti pada 1970.

Orba pun menggunakan seluruh instrumennya untuk mendukung program KB. Dari militer hingga Partai Golkar. Program itu diharapkan memiliki keuntungan besar bagi Indonesia di masa depan. Orba ingin nasib kesejahteraan wanita dan keluarganya meningkat.

“Untuk itu, lanjut Ketua Umum Golkar, Sudharmono program pelaksanaan KB itu tidak hanya penting buat keluarga yang bersangkutan saja. Akan tetapi juga mempunyai arti yang penting bagi negara dan bangsa. Dengan demikian apabila keluarga berencana itu maju, maka kesejahteraan pun akan dapat meningkat.”

“Kemudian Ketua Umum yang menyebut para pelaksana dari program KB Lestari ini sebagai pejuang pembangunan dalam bidang kependudukan itu, mengharapkan agar para peserta KB Lestari ini menjadi pelopor, panutan dalam bidang KB, dan dapat menjadi pejuang bangsa serta pejuang pembangunan yang diperjuangkan oleh Golkar,” tertulis dalam laporan Majalah Media Karya berjudul Golkar Dukung Keberhasilan Keluarga Berencana (1987).

Logo Keluarga Berencana, program penyejahteraan keluarga yang sangat diandalkan Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru. (Istimewa)

Kepedulian Soeharto dalam menurunkan laju pertumbuhan penduduk mendapatkan apresiasi di mana-mana. Indonesia yang kala itu pertumbuhan penduduknya diprediksi meningkat tajam, dapat ditekan. Soeharto dapat menekan pertumbuhan penduduk hingga puluhan juta jiwa – sampai akhirnya kuasanya.

Keberhasilan itu juga diakui oleh dunia internasional. PBB pun tak tinggal diam. Sebagai apresiasi, PBB memberikan penghargaan UNPA kepada Soeharto pada 8 Juni 1989, atau pada saat hari ulang tahun Soeharto. Pemberian penghargaan UNPA dilakukan di markas besar PBB di Amerika Serikat. Prestasi itu kemudian jadi salah satu kado terindah bagi Soeharto dan juga Indonesia.

“Dalam suatu upacara di markas besar PBB, sekitar sejam, Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar akan menyerahkan United Nations Population Awards (UNPA) kepada Presiden Soeharto. Penghargaan sama akan diterima M. Aissah Agbetra, Menteri Kesehatan Togo. Maka, Presiden Soeharto akan membacakan pidatonya, setebal 35 halaman.”

“Pak Harto adalah kepala negara ASEAN pertama yang menerima award ini. Sejak pemberian penghargaan kependudukan diputuskan Sidang Umum PBB, 1981, ada beberapa tokoh dan lembaga intemasional telah menerima penghargaan tersebut: PM India Indira Gandhi, 1983. Profesor Carmen A. Miro dari Panama, Profesor Sheldon J. Segal dari AS, 1984, dan Presiden Bangladesh Hossain Mohammad Ershad, 1987,” ungkap Amran Nasution dan Sidartha Pratidina dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Sebuah Anugerah di Hari Ulang Tahun (1989).