Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 55 tahun yang lalu, 2 Juni 1968, Majalah Budaja Djaja terbit untuk pertama kalinya. Ada dukungan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin di baliknya. Majalah yang fokus kepada urusan kebudayaan dan sastra itu langsung menggebrak dengan kritik terhadap Orde Baru (Orba).

Sebelumnya, Ali Sadikin jadi pemimpin Jakarta yang peduli dalam pengembangan Jakarta. Alih-alih cuma peduli dalam pembangunan, Ali juga peduli dalam mencerdaskan warganya. Segala kegiatan positif kerap didanainya.

Kiprah Ali Sadikin membangun Jakarta tiada dua. Ia mampu membuka keran pemasukan Jakarta jadi melimpah. Fakta itu membuat Ali Sadikin memulai agenda mempercantik Jakarta. Namun, bukan cuma kotanya yang dipercantik, tapi juga manusianya ikut berdayakan.

Segala macam agenda positif milik warga Jakarta kerap didukungnya. Apalagi agenda itu dilanggengkan oleh budayawan atau sastrawan. Ia menganggap kehadiran kedua macam bidang itu membuat Jakarta jadi hidup. Utamanya, urusan kemajuan budaya.

Demi mewujudkan dukungan memajukan urusan budaya, Ali tak ambil pusing. Ia membuka keran pendapatan Jakarta untuk mendanai kegiatan positif. Dari mempersiapkan bangunan hingga kegiatan. Eksistensi kebudayaan dan sastra terangkat karenanya.

Majalah Budaja Djaja, majalah kebudayaan dan sastra yang paling berpengaruh. (Wikimedia Commons)

Jakarta pun mampu menjelma menjadi kota berbudaya. Apalagi kemudian hal itu mampu menelurkan kemunculan budayawan dan sastrawan baru dari Rahim Kota Jakarta.

“Tidak ada dana untuk membiayai pembangunan, tiada masalah. Ia tak segan-segan mengizinkan etnis China bermain judi secara terbuka, dan dari lotere dan siah-hwee mengambil dana untuk membiayai pembangunan sekolah dasar, puskesmas, dan lain-lain. Pada masa awal jabatannya Bang Ali mengingatkan orang kepada walikota di Amerika pada zaman Presiden Franklin Roosevelt, seperti Fiorello H. La Guardia, Wali Kota New York, 1934-1945, yang diberi julukan People’s Mayor atau Walikota Rakyat.”

“Seperti tokoh itu Bang Ali mengelola Jakarta dengan sukses. Karena dia pendengar yang baik, menyimak cermat apa kata orang. Ia menerapkan management by teamwork. Harus bekerja bersama-sama dengan tidak melupakan siapa yang komandan. Pada akhirnya yang bertanggung jawab adalah Bang Ali,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 3 (2008).

Ali pun mendukung penuh ide-ide baru para budayawan dan sastrawan yang eksis di Jakarta. Ide membuat sebuah majalah khusus kebudayaan dan sastra, misalnya. Ali langsung mendukung ide dari Ajib Rosidi dan kawan-kawan membuat Majalah Budaja Djaja.

Restu Ali Sadikin pun didapat. Akhirnya, Majalah Budaja Djaja terbit pertama kali pada 2 Juni 1968. Isi majalah itu mampu memberikan warna berbeda. Satu warna yang tak dimiliki majalah lainnya: kebebasan.

Kebebasan itu terlihat dalam edisi perdana Budaja Djaja yang memuat tulisan kritik Orde Baru. Sentilan itu nyatanya disukai banyak pihak. Alhasil, Majalah Budaja Djaja menjelma sebagai majalah kebudayaan yang paling penting. Saban kehadirannya, Majalah Budaja Djaja disambut dengan penuh suka cita.

“Dilihat dari usaha pengembangan pemikiran kebudayaan dan kesusastraan, Redaktur Budaja Djaja Hen Surianegara, Ajip Rosidi, dan Ramadhan K.H. dengan pengalaman dan kesungguhannya, berhasil membawa Budaja Djaja sebagai salah satu majalah kebudayaan yang penting. Banyak nama dengan sejumlah karya berbobot dimuat dalam majalah ini.”

“Kembali, keberadaan sebuah media yang membuka ruang bagi berbagai kebebasan berekspresi dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan kesenian dan kebudayaan umumnya. Sampai penerbitanya yang terakhir tahun 1979, Budaya Diaya masih menempatkan perannya sebagai salah satu majalah kebudayaan yang berpengaruh besar bagi perkembangan kesenian dan kebudayaan, dan secara khusus kesusastraan Indonesia,” terang Marwati Djoened Poesponegoro dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI (2008).