JAKARTA - Pada 6 Maret 1971, majalah Tempo menerbitkan edisi perdananya. Kelahiran majalah Tempo berawal dari perundingan enam wartawan dan pengusaha Ciputra. Tempo melewati perjalanan panjang setelahnya.
Suatu hari di bulan November 1970, Goenawan Mohamad, Christianto Wibisono, dan Fikri Jufri dipecat dari majalah Ekspres. Ketiganya dianggap terlalu kritis terhadap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Ketiganya kemudian menyusun rencana mendirikan majalah berita nonpartisan yang lebih idealis. Rencana itu tekendala pendanaan. Mereka kemudian mencari investor. Gonawan Mohamad sempat mendatangi wartawan senior, Mochtar Lubis untuk bekerja sama. Gagal.
Di tengah kegagalan itu, Lukman Setiawan menghubungi Goenawan, Christianto dan Fikri. Mantan wartawan Kompas itu memberi kabar bahwa Ciputra, pengusaha properti besar di Indonesia tertarik dengan ide pendirian majalah nonpartisan itu.
Negosiasi Goenawan Cs dan Ciputra
Lewat salah satu perusahaannya, PT Jaya Development Group (JDG), Ciputra menghubungi Goenawan Cs. Hubungan antara Goenawan Cs dan JDG selanjutnya dilakukan lewat Yayasan Jaya Raya yang dipimpin Ciputra.
Buku Wars Within The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto's Indonesia (2005) yang ditulis Janet Steele menjelaskan bahwa kala itu Yayasan Jaya Raya juga memiliki rencana mendirikan sebuah majalah. Rencana Yayasan Jaya Raya muncul setelah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mendorong yayasan untuk mendirikan sebuah majalah yang mengangkat semangat pembaharuan zaman.
Ali Sadikin dan Ciputra memang memiliki kedekatan. Ciputra pun akhirnya mengajak Goenawan Cs bertemu. Ciputra melakukan perundingan itu secara langsung. Tanpa delegasi. Ciputra menyodorkan uang senilai Rp18 juta kepada Goenawan Cs.
Mereka sepakat membagi kepemilikan perusahaan 50:50. Goenawan Cs akan menjadi mesin jurnalistik. Sementara, Yayasan Jaya Raya memberikan modal. Goenawan Cs kala itu juga menegaskan komitmen setiap pihak bahwa majalah yang nantinya didirikan harus dijamin kebebasan editorialnya. Majalah itu tak boleh tersentuh kepentingan pemodal.
Setelahnya, majalah itu pun berdiri dengan nama "Tempo". Nama Tempo dipilih oleh Goenawan Cs karena dianggap netral tanpa menyiratkan keterkaitan pada golongan apapun. Alasan lainnya, nama itu mudah diucapkan.
Pembredelan majalah Tempo
Tanggal 21 Juni 1994, pemerintahan Presiden Soeharto melakukan pembredelan terhadap majalah Tempo. Tempo tak sendiri. Kala itu pemerintah juga membredel majalah Editor dan tabloit Detik.
Keputusan pemerintah memberhentikan penerbitan Tempo dan dua media lainnya itu diumumkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Kementerian Penerangan Subrata. Kala itu Subrata bicara atas nama Menteri Penerangan Harmoko.
Hal itu terjadi setelah Tempo menerbitkan sekitar enam laporan mengenai pembelian 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur. Tulisan pertama --di luar enam artikel itu-- terbit pada 4 Juni 1994.
Tulisan itu berjudul Jerman Punya Kapal, Indonesia Punya Beban. Tempo kala itu memaparkan informasi yang menyebut anggaran pembelian kapal itu ternyata belum disetujui oleh Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad.
Tempo sempat berupaya mengonfirmasi pada pihak terkait. Tak ada satupun yang bersedia bicara, hingga Tempo kemudian menelusuri harga kapal perang yang diperkirakan mencapai Rp27,5 miliar itu.
Jika dikonversi ke dolar, jumlah itu menjadi 12,7 juta dolar AS. Namun, dalam anggaran pembelian yang diajukan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) B.J. Habibie, angkanya mencapai 1,1 miliar dolar AS.
Terbitan Tempo 11 Juni 1994 menggelontorkan enam artikel investigasi soal pembelian kapal itu. Artikel-artikel itu mengungkap bahwa pembelian kapal itu dilakukan atas perintah Soeharto.
50 tahun Tempo
Tempo kini berusia 50 tahun. 50 tahun lalu, Goenawan Mohamad menulis pengantar di terbitan perdana majalah:
Asas jurnalisme kami bukanlah jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya bahwa kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya bahwa tugas pers bukanlah menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme majalah ini bukanlah jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba.