Bagikan:

JAKARTA - Kepergian Soeharto membawa kedukaan yang mendalam bagi rakyat Indonesia. Ia selayaknya manusia biasa, ada kesalahan dan ada kebaikan. Namun, suasana kedukaan itu diganggu oleh majalah Tempo.

Mereka mencoba menerjemah kepergian Soeharto lewat sampul majalah edisi 4-10 Februari 2008. Soeharto digambarkan bak Yesus dan menyerupai adegan lukisan The Last Supper (Perjamuan Terakhir) karya Leonardo da Vinci. Sampul majalah itu bikin gempar. Umat Nasrasi di seluruh Indonesia banyak mengecam tindakan Tempo.

Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2008. Kepergian mantan Presiden Indonesia ke-2 itu membawa kedukaan yang amat mendalam. Rakyat Indonesia pun mulai mengingat kembali prestasi dan kebaikan Soeharto dan Orde Baru.

Mereka yang mengangkat sisi kontroversialnya pun tak sedikit. Majalah Tempo pun mencoba menurunkan laporan khusus yang merangkum jejak Soeharto dari misteri silsilah keluarga hingga kontroversi memimpin Indonesia.

Mahakarya Leonardo da Vinci, The Last Supper. (Wikimedia Commons)

Berita-berita menggugah selera pembaca majalah Tempo dihadirkan dengan judul menarik. Jenderal Besar Terakhir?, Misteri Anak Desa Kemusuk, Di Mata Para Seteru, dan lain sebagainya. Laporan khusus itu tertuang dalam majalah Tempo edisi 4-10 Februari 2008.

Narasi yang dilakukan Tempo tak menyalahi aturan. Sebuah obituari tak melulu harus mengulas kebaikan belaka, tapi juga bisa terkait gebrakan hingga kontroversi tokoh semasa hidup. Tokoh pers nasional, Rosihan Anwar sering membuatnya.

Kalangan pembaca pun tiada yang mempermasalahkan berita majalah Tempo. Namun, yang jadi masalah majalah Tempo justru menggunakan sosok Soeharto sebagai sampul. Tempo mencoba melakukan parodi dari lukisan kesohor milik Leonardo da Vinci, Perjamuan Terakhir.

Majalah itu menggambarkan sosok Soeharto bak seorang Yesus dengan judul Setelah Dia Pergi. Sekalipun Soeharto hanya diiringi oleh Keluarga Cendana yang berjumlah enam orang – tiga di kanan, tiga lagi di kiri.

Gambaran itu tidak seperti Perjamuan Terakhir yang mendaulat 12 orang murid Yesus hadir sebelum penyaliban. Pun tidak ada roti dan anggur. Tempo menggantinya dengan piring dan gelas yang kosong.

“Ada dua hal yang menyebabkan gambar sampul ini memikat disimak. Pertama pada metaforanya, apabila sampul Tempo boleh dinterpretasikan: Setelah Pak Harto mangkat, kehidupan keluarga Soeharto-jangan-jangan-akan menjadi nihil.”

“Kedua, dari spiritnya. Dengan gambar parodi ini Tempo seperti meneruskan semangat para seniman untuk tak henti menafsir gambar "The Last Supper" dari segala sisinya. Dan penafsiran itu bisa diberangkatkan dari pilihan sisi estetiknya, artistiknya, setting-nya, komposisinya, tokohnya, propertinya, gayanya, warnanya, peristiwanya, dramanya, sampai simbol dan kisah biblikalnya,” ungkap Agus Dermawan T dalam Karnaval Sahibulhikayat (2021).

Banjir Kecaman

Keberanian majalah Tempo memparodikan Perjamuan Terakhir mendapatkan ragam komentar. Mereka yang mendukung menganggap Tempo tampil seperti biasa berani mengangkat hal tabu dan unik jadi sampul majalah.

Mereka yang mengecam justru lebih banyak. Kecaman bukan dalam hal isi majalah. Namun, kecaman karena Tempo dengan berani menggantikan sosok Yesus dengan Soeharto. Kondisi itu membawa tafsiran bahwa Soeharto tak jauh berbeda dengan Yesus.

Kecaman datang pula dari ragam perwakilan umat Katolik. Perwakilan umat Katolik ini menamakan diri Forum Alumni PMKRI, Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI), Solidaritas Demokrasi Indonesia 9SDKI), Wanita Katolik RI, PMKRI, Pemuda Katolik, dan lkatan Sarjana Katolik (ISKA).

Mereka menganggap gambar Perjamuan Terakhir sakral. Ada nilai-nilai penting yang diteladani. Namun, mengganti sosok Yesus dengan Soeharto dianggap mencederai hati kaum Nasrani. Pemuatan sampul itu dianggap merendahkan Yesus karena disandingkan dengan sosok kontroversial.

Unjuk rasa pun sempat dilakukan. Mereka menuntut majalah Tempo segera minta maaf dan menarik majalah itu dari peredaran. Tempo pun legawa menerima kritik dan kecaman. Tempo mengakui bahwa mereka telah bertindak tidak sensitif kepada keyakinan umat Katolik.

Gambar penuh sampul majalah Tempo edisi 4-10 Februari 2008. (Istimewa/ kuss-indarto.blogspot.com)

Majalah Tempo memutuskan untuk meminta maaf. Mereka mengaku salah menjadikan karya agung Da Vinci jadi parodi Soeharto pada Februari 2008. Permintaan maaf itu direspon positif. Kemarahan tak berlanjut dan majalah Tempo terus lebih selektif memilih sampul majalahnya.

“Tapi saya hentikan gumaman itu. Simbol-simbol keagamaan, sesuatu yang sakral, memang sulit dijelaskan kepada pihak lain yang tidak ikut menyakralkannya. Ini wilayah yang sangat sensitif. Karena itu, saya setuju sekali Tempo meminta maaf Jangan tunda barang sedetik pun permintaan maaf itu, jangan mencari dalih macam-macam, meskipun ada pertanyaan segumpal di dalam hati.”

“Saya salut atas kebesaran hati saudara kita umat Katolik karena masalahnya tidak sampai berkepanjangan, dan saya pun ikut meminta maaf karena telanjur menyenangi gambar sampul majalah itu dalam konteks yang berbeda. Ini memberi pelajaran kepada kita semua, bagaimana menghormati simbol-simbol sakral yang diyakini oleh masing-masing pemeluk agama,” terang pendiri majalah Tempo, Goenawan Mohamad dalam tulisannya di koran Tempo berjudul Sakral (2008).